Selasa, Juli 27, 2004

Beny Uleander

Saya Merasa Aman Di Bali

Shannon
Selasa siang, 27 Juli 2004 di pantai Kuta, Bali. Terik mentari terasa menyengat, membakar setiap tamu yang berjemur di bibir pantai sepanjang 8 km itu. Udara pantai yang menerpa wisatawan asing, termasuk wisman cilik tidak pernah digubris. Yang bisa direkam adalah impian keceriaan setiap raut wisatawan untuk bermandi matahari di pantai yang sudah melegenda itu. Wisatawan usia senja, remaja dan anak-anak tidak peduli terpaan hawa gerah yang menyatu dengan pasir putih. Ada yang mandi, bermain selancar, membaca buku di bawah tenda payung dan banyak yang lagi menikmati terik matahari dengan apa yang disebut sumur (susu berjemur) yang beralaskan kain pantai, produk pedagang asongan. Sebagian anak menguji kreatifitasnya dengan membuat rumah dari gundukan pasir, dan ada pula tertidur di pangkuan ibunya.
Shannon (24) merupakan salah seorang wisatawan yang juga asyik menikmati semilirnya angin laut dan hangatnya pasir putih tersebut. Gadis cantik kelahiran Denver, Kanada ini memilih Bali sebagai tempat liburan musim panas. Shannon berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMU Tokyo, Jepang. Sudah dua minggu, ia berada di Bali. Uniknya, semua waktu dihabiskan dengan berjemur diri di pantai Kuta. Sejak pagi, Shannon sudah datang ke pantai dan berenang, disusul jerjemur diri. Katanya, waktu berjemur diri, hatinya diselimuti sebuah perasaan damai dan tenang.
Shannon datang sendirian di Bali dan mengaku tidak takut dengan isu seputar terorisme. Buktinya, liburannya kali ini merupakan kunjungan keduanya ke Indonesia. “Saya merasa Bali sekarang sudah aman. Masyarakat internasional tahu bom Legian dilakukan kelompok yang menjadi musuh dunia saat ini. Saya menilai orang Indonesia itu baik dan bisa bergaul dengan orang dari bangsa lain. Orang Indonesia tidak tertutup. Saya merasa aman tinggal di sini,” ujar lajang ini polos.
Membludaknya jumlah wisman ini dimanfaatkan para pedagang asongan, kelompok pijat tradisional, pembuat lukisan tato dan penjual cinderamata untuk mengais rejeki. Tidak sedikit bule yang merasa kegiatan mereka di pantai terganggu dengan aksi mereka menawarkan jasa pijat dan tato. Ada juga yang sampai memaksa wisatawan untuk membeli, lukis tato di badan atau dipijat.
Banyak penjaja asongan, kaki lima, dan ‘kaum preman’ pada amburadul, liar, tidak mau tunduk pada peraturan, dan berbias pada terjadinya aksi pencopetan, jambret, setengah perampokan, pemaksaan dan kekerasan. Tak segan mereka membangunkan turis yang tengah tertidur saat berjemur itu. Padahal seorang turis datang berlibur untuk menikmati suasana nyaman, melepas rasa frustrasi, menghirup udara bebas, dan bebas dari segala gangguan yang terkesan membatasi ruang geraknya.
Shannon yang senang berdiam diri menikmati istirahatnya tak luput dari gangguan-gangguan kecil para pedagang asongan dan penawar jasa pijat dan tato itu. Meski mereka datang silih berganti, Shannon mau juga melayani tawaran mereka dengan senyum dan menolaknya secara halus. “Maaf, saya ingin sendiri,” tolaknya ketika seorang ibu menawarkan jasa pijat.
Shannon mengaku tidak merasa terganggu dengan ulah mereka. “Ya, saya memahami situasi di sini. Apalagi pekerjaan sulit dan banyak yang menganggur. Di sini banyak turis, jadi wajar kalau mereka mencari uang. It’s okey,” ungkapnya.
Tingkat pengertian Shannon yang lugas ini setidaknya menjadi cermin bahwa wisman yang berkunjung ke Indonesia telah mendapat informasi tentang situasi krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir. Hanya saja, suasana aman, nyaman, ketenangan dan kepastian yang dijanjikan pemerintah bagi para pelancong jangan dinodai dengan aksi kekerasan seperti penjambretan, perampokan dan penipuan.
Bercermin dari tragedi bom Bali, misalnya, roda industri pariwisata di Indonesia dan Bali khususnya, sempat macet. Dua bom, yang diledakkan tepat di jantung pariwisata Bali, Kuta melemahkan denyut nadi pariwisata Bali. Dampak empiris jelas terlihat, jumlah kunjungan langsung wisatawan asing ke Bali menurun drastis dan mencapai titik terendah sepanjang sejarah kunjungan wisman ke Bali.
Catatan Kantor Imigrasi Pelabuhan Udara Ngurah Rai per 18 Oktober 2002 menunjukkan, 4.202 orang meninggalkan Bali melalui bandara internasional, dan yang berani datang hanya 936 orang. Dampak terpuruk justru dialami para pemilik industri tanpa cerobong asap. Tingkat hunian hotel di Bali merosot hingga 9,9%, terjadi penghematan di berbagai bidang dan buntutnya, banyak pekerja di sektor pariwisata harus bersedia dirumahkan. Untuk itu, jangan dan jangan lagi biarkan The Last Paradise kehilangan taksunya. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :