Jumat, Juli 30, 2004

Beny Uleander

Obat Kesepian, Sebuah Catatan

“…Indonesia yang dilegendakan sebagai ‘Zamrud Katulistiwa’ kian nampak sebagai tali darah yang merentang dari Aceh sampai Dili…

Ungkapan tali darah di atas digunakan aktivis pembangkang Orde Baru, Nuku Soelaiman untuk mengungkapkan fakta kekerasan dan pembantaian dalam era rezim Soeharto yang merenggut nyawa ratusan ribu penduduk Indonesia. Darah itu telah tertumpah dan membasahi tanah pertiwi yang akan selalu haus menelan tetesan segar darah anak bangsa.
Gugatan Nuku Soelaiman merupakan bukti kesadaran seorang anggota masyarakat yang selalu merasa heran dengan aksi kekerasan itu sendiri. Apabila suatu masyarakat tidak merasa heran terhadap berbagai tindak kekerasan maka masyarakat itu telah kehilangan keberadabannya.
Erich Fromm (1900), kelahiran Frankfurt, Jerman adalah salah seorang psikoanalis yang membedah hubungan kepribadian manusia dengan bentuk masyarakat untuk mencari jawaban mengapa manusia gemar berlaku sadis, kejam dan brutal terhadap sesamanya. Dalam bukunya Escape From Freedom (1941), Fromm mengemukakan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, namun mereka semakin merasa kesepian. Kebebasan menjadi keadaan negatif dari mana manusia melarikan diri. Apakah jawaban Fromm terhadap dilema ini?
Seseorang dapat bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama atau dapat merasa aman dengan tunduk pada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Pertama, dalam cinta dan kerjasama, manusia menggunakan kebebasan untuk mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, dengan tunduk pada penguasa, manusia mendapat perbudakan baru. Dari gambaran ini, nampak bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia entah feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme atau komunisme menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar pada manusia.
Kontradiksi yang dimaksud seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisiologis tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pada titik ini, tersingkap pengalaman khas manusia yang lemah lembut, cinta, perasaan, kasihan, simpati, empati, tanggung jawab, identitas, integritas, bisa dilukai, transendensi, kebebasan nilai-nilai dan norma-norma.
Dua aspek individu, --manusia dan binatang-- merupakan kondisi-kondisi dasar eksistensi manusia. Tindakan mengatasi naluri kebinatangan disebut sebagai gerakan keterarahan atau transendensi diri pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kasih dan keindahan. Selama seseorang senang dan membiarkan tabiat kekerasan tumbuh mekar dalam dirinya, ia menjadi makhluk yang selalu merasa kesepian. Kesepian karena gagal mengintegrasikan nilai-nilai human being dan human becoming.
Obat mujarab membunuh kesepian adalah cinta, persaudaraan, solidaritas dan kerja sama. Karena itu masyarakat ideal yang ditawarkan Fromm adalah masyarakat yang dinamakan Komunitarian Humanistik. Mungkin seorang Niccolo Machivelli menganggap tipe masyarakat demikian sebagai suatu kebohongan atau kerinduan tiada tepi. Alasannya, masyarakat yang aman dan damai hanya bisa tercipta lewat ideologi stabilitas nasional, --meniadakan perbedaan dengan jalan dan cara apa saja-- termasuk kekerasan. Manusia menjadi srigala bagi sesamanya atau homo homini lupus secara inheren mengangkangi kodrat bawaan manusia yang adalah cinta dan kasih.
Tindakan kekerasan dan aksi premanisme tumbuh subur di negeri ini hanya karena pendidikan hati diabaikan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Lebih tepat dalam istilah Fromm, daya-daya kehidupan yang dinamakan aspek biofilous ditelantarkan seperti semangat cinta, persaudaraan, empati dan sayang. Sedangkan dorongan kematian atau yang bertentangan dengan kehidupan yakni aspek nekrofilous dipertajam seperti benci, intimidasi, iri, dendam atau dengki.
Dengan demikian, upaya efektif meminimalisir premanisme dalam segala bentuk hanya bisa ditempuh lewat pendidikan humaniora yang menekankan pentingnya mendengarkan suara hati, kemampuan berpikir jernih dan mempertajam daya kritis dan reflektif. Masyarakat yang sempurna berpulang pada individu itu sendiri sebab bentuk masyarakat apa saja merupakan hasil ciptaan manusia.
Upaya pemerintah menguasai masyarakat dengan ideologi penyeragaman justru menjadi lahan subur terbenihnya kekerasan itu. Sebab pembungkaman suara rakyat lewat dan melalui kekerasan berakibat bahwa generasi muda melihat pedang dan bedil sebagai cara menyelesaikan masalah. Premanisme yang marak di Indonesia karena para pelaku kerap melihat teror dan kekerasan ada di mana-mana. Hidup dilihat sebagai perjalanan yang keras dan lahirlah prinsip ‘Halalkan segala cara, agar bisa hidup’. Kita bersyukur, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang sakit karena masih dan selalu lahir Nuku Soelaiman yang baru. Anda terpanggil untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa cepat dan tepat melihat aneka ketimpangan baik dalam diri sendiri maupun masyarakat.
(Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :