Selasa, Agustus 30, 2005

Beny Uleander

Terkoyak Pelor

Di antara gemuruh desingan peluru musuh, Samsul, Ahmad, Simatupang, Benyamin, Ngurah Rai dan seribu rekan setanah air terus merangsek maju. Tahun 1945-1950, periode mempertahankan kemerdekaan RI. Cuma waktu dan tempat mereka berbeda tapi musuh mereka satu dan sama: Belanda dan sekutunya. Gairah dan tekad mereka pun setali tiga uang: merdeka atau mati. Ahmad merintih kesakitan memegang perutnya yang terkoyak pelor saudara kulit putih. Simatupang bersembunyi di balik semak menatap nanar ayah dan adiknya membujur kaku disambar peluru nyasar, entah peluru kawan atau lawan. Benyamin Moerdani diam kaku ditutupi alang-alang saat serdadu Negeri Kincir Angin melakukan aksi sweeping. Di Pulau Dewata, terpampang aksi heroik. Ngurah Rai bersama pasukannya meregang nyawa satu persatu dalam optimisme puputan di Desa Margarana, Tabanan. Merdeka atau mati.
Darah dan gairah mereka melahirkan persatuan manusia yang hidup dari Sabang sampai Merauke selama hampir 60 tahun. Persatuan terbangun dengan darah. Darah muda lagi…. Kesatuan direkat dengan jiwa-jiwa yang melayang dalam kepedihan mahadahsyat. Jiwa anak-anak polos yang terpaksa memanggul bedil dan bambu runcing. Mereka yang menjadi saksi perjuangan berdarah telah tiada, termasuk Roeslan Abdulgani. Tapi mereka sadar untuk siapa mereka rela mati bersimbah darah. Kematian dihayati sebagai perayaan kemenangan untuk sebuah momentum: KEMERDEKAAN saat ini di negeri ini.
Di abad 21, kembali lahir berjuta-juta Samsul, Ahmad, Benyamin dan Ngurah di serumpun pulau yang kini jarang ditumbuhi pepohonan. Samsul, kepala keluarga yang miskin dan melarat. Hidupnya bersetubuh dengan kemiskinan. Ada bakat melarat mengalir dalam darahnya. Ada potensi apes mengendap dalam sumsumnya. Seperti Samsul, Ahmad pun bekerja rutin sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah kota. Begitu pula Benyamin yang kerja sampingannya sebagai kuli. Isterinya bekas babu dan dua anaknya penyemir sepatu. Rumah mereka di rimba raya Kota Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar. Orang-orang melecehkan mereka. Pemerintah menyepelekan eksistensi mereka. Di mall, Samsul, Ahmad, Benyamin dan Ngurah melihat orang belanja makanan mewah ratusan ribu harganya. Di jalan-jalan, mereka melihat kaum majikan naik Mercy dan Volvo. Di hotel-hotel, mereka melihat kaum majikan menggandeng mesra gadis bukan isterinya. Di koran-koran, mereka membaca bagaimana konglomerat dengan gampang mendapat kredit milyaran dengan agunan jadi-jadian.
Sementara orang melarat cuma menjadi penonton. Dalam mimpinya, Samsul cs merasa kalah dalam hidup mereka. Berjuta Samsul ada di sekitar kita. Mereka menahan benci melihat para penguasa dan pengusaha berkolusi menjarah harta negara. Mereka tak berkuasa melakukan aksi protes melihat polisi melindungi pencuri. Ahh…latahnya KEMERDEKAAN saat ini di negeri ini.
Ahmad merintih kesakitan memegang perutnya yang keroncongan. Simatupang bersembunyi di balik semak menatap nanar ayah dan adiknya membujur kaku disambar peluru aparat negara. Benyamin diam kaku ditutupi alang-alang saat aparat trantib dan tibum Republik melakukan razia penduduk pendatang di kota. Di Pulau Dewata. Terpampang aksi depatriotisme. Ngurah bersama ‘pasukannya’ menjual tanah are demi are kepada ‘orang asing’ dalam optimisme kaya dadakan. Sebuah ironi getir, tanah yang dipertahankan leluhur dengan percikan darah dijual anak cucu kepada neo-kolonial: kaum kapitalis.
Indonesia di awal kemerdekaan menjadi negeri selaksa potensi yang membikin ketar-ketir Amerika yang mulai beraksi sebagai polisi dunia. Fidel Castro, pejuang Kuba itu ‘kesengsem’ dengan kharisma seorang Soekarno yang berani berteriak anti kolonialisme dan imperialisme. Slogan berjiwa pun hidup di dada rakyat Republik. “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”. Reputasi Soekarno, pemimpin negeri yang baru merdeka ini dilihat sebagai Macan Asia yang baru bangun dari tidur panjang, 3,5 abad. Soekarno pun berani membangun mega proyek perasaan senasib sebagai bangsa terjajah dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, yang menjadi cikal bakal Gerakan Non Blok (GNB). Gerakan strategis yang sinergis dengan garis kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dalam menjaga perdamaian dunia sekaligus menjauhkan Indonesia dari gesekan pengaruh Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Indonesia yang pada awal kemerdekaannya diprediksi ‘negara maju’ bakal meroket menjadi bangsa yang besar. Sayang, bangsa ini cuma besar dalam jumlah wilayah, sumber daya alam dan tentu ratusan juta penduduk yang hidup terlantar. Tapi tak ada ‘kebesaran kualitas’ sebagai bangsa yang bisa berdiri sejajar dengan ‘negara maju’. Indonesia kini menjadi negara pesakitan yang dihimpit beban utang luar negeri. Ratusan juta penduduknya kini hidup hanya untuk membayar utang-utang negara yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Betapa sedihnya menjadi orang Indonesia. Kemerdekaan fisik dari penjajah disalahgunakan. Apes, dalam ‘manajemen kapitalis’, negeri ini masih dijajah…entah sampai kapan. Anak cucu pun masih harus menanggung tumpukan utang luar negeri.
Sanggupkah Indonesia keluar dari beban penjajahan bangsa asing lewat ‘borgol dana bantuan’? Jawabnya, bisa ya dan tidak. Tergantung kesadaran generasi muda negeri ini berpikir optimis, kritis dan korektif. Bukan generasi yang didoktrin sebagai pemegang kelanjutan tongkat estafet kepemimpinan tanpa parade regenerasi. Benar sindiran penyair kawakan W.S. Rendra, setiap generasi mempunyai tongkatnya sendiri.
Optimisme menjadi bangsa yang besar belum terlambat. Tak ada alasan untuk berjiwa pesimis. “Ah, negeri ini terlalu luas sehingga tak bisa seperti Singapura yang penduduknya sedikit”. Lihatlah China, negerinya luas dan penduduknya melebihi penduduk Indonesia tetapi kini perekonomian mereka sejajar dengan Amerika. Ketika industri tekstil China menguasai pasar Asia dan Eropa era 1980-an, Amerika dengan langkah gontai pindah ke industri senjata dan peralatan keamanan. Sebuah contoh, tak ada tempat bagi generasi yang berpikir kerdil.
Tahun 2005 merupakan momentum yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk memilih merdeka atau mati, pasca krisis moneter 1997. Merdeka dari jeratan hukum warisan kolonial, bebas dari pelayan publik yang berjiwa penguasa. Saat ini negara membutuhkan generasi pendobrak di bidang ‘kemapanan UUD’45’ yang disakralkan di pentas formalisme semata tetapi diperkosa habis-habisan di lapangan praktis. Generasi yang kritis bahwa banyak pembela Pancasila yang dituding anti RI sementara penggusuran, koruptor dan preman politik yang non Pancasilais dibela ‘alat-alat negara’. Munir seorang Pancasilais tulen jadi contoh super tragis. Pahlawan kemanusiaan dibantai sedangkan koruptor dibalut ‘kasih sayang’ hukum elastis. Saatnya, bangkit generasi baru Samsul, Ahmad, Simatupang, Benyamin atau Ngurah yang korektif: berani menyuarakan penyimpangan dalam tata kelola negara yang harus cepat dilawan. Itulah nasionalisme baru di negeri ini. Lewat dari tahun 2005, bangsa ini akan menjadi bangsa apatis. Menerima penindasan sesama saudara sebagai hal yang lumrah. Waktu untuk bangun dari ‘ketaksadaran’ ini menurut Anand Krishna membutuhkan penyembuhan dalam tahun-tahun yang amat panjang. Bisa-bisa… kita bangkit dari ‘ketakmederkaan’ 3,5 abad lagi. Semoga tidak!? (Beny Uleander/KPO EDISI 87/OKTOBER 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :