Sabtu, Desember 31, 2005

Beny Uleander

Wajah Pariwisata Ringsek

Wisatawan Jepang Siap Disasar
Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Aktivitas perpelancongan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi kebutuhan manusia dan menjadi industri tanpa cerobong yang menguntungkan. John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox (1994) seperti dikutip Prof Dr Nyoman Sutjipta dalam Pariwisata Revolusi di Pulau Dewata (2005) mengungkapkan pariwisata mempekerjakan 204 juta orang di seluruh dunia, atau satu dari sembilan pekerja yang ada, 10,6 persen dari angkatan kerja global.

Pariwisata merupakan industri terbesar dunia dalam hal pengeluaran bruto, yaitu mendekati US$ 3,4 triliun. Pariwisata merupakan 10,9 % dari semua belanja konsumen, 10,7 % dari semua investasi modal dan 6,9 % dari semua belanja pemerintah. Pariwisata akan menghasilkan 144 juta pekerjaan di seluruh dunia sampai tahun 2005 dan di antaranya 112 juta pekerja berkembang di pesat di Asia Pasifik.

Prediksi John Naisbitt bahwa dalam abad ini akan terjadi gelombang wisatawan Asia di pasar-pasar di seluruh dunia dan negara-negara Asia akan menjadi tujuan wisata yang utama ada benarnya. Untuk Bali sendiri, menurut Dirut PT Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation) Ir I Made Mandra, wisatawan Jepang khsususnya kalangan lansia di atas 50 tahun menjadi target pasar yang siap disasar. “Selama ini orang-orang Jepang yang sudah pensiun memilih beristirahat di daerah-daerah tropis seperti Bangkok atau Hawaii yang memiliki banyak kondominium,” ungkapnya. Kini BTDC sedang membangun secara patungan Recuperation & Wellness Resort di atas lahan seluas 8 Ha di kawasan wisata Nusa Dua khusus untuk kalangan lansia dari Jepang yang ingin berlibur menikmati hari tua. “Mereka memiliki asuransi selama bekerja. Kami bekerja sama dengan pihak asuransi yang memungkinkan mereka bisa berkunjung ke Bali. Tentunya kami menyiapkan berbagai fasilitas untuk orangtua. Untuk pelayan hotel sendiri kami utamakan mereka yang memiliki latar belakangan pendidikan perawat,” ungkap Made Mandra. Selain itu, BTDC yang memiliki karyawan 180 orang saat ini memfokuskan diri pada revitalisasi asset yang tidak produktif dan pengoptimalan pemanfaatan lahan di dalam kawasan Nusa Dua yang mempekerjakan 7 ribu karyawan.

Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa-masa jaya dari peningkatan pariwisata dunia terutama pada periode 1990 - 1996. Badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997, bom Bali I dan II merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi masyarakat pariwisata Indonesia untuk melakukan re-positioning sekaligus re-vitalization kegiatan pariwisata Indonesia. Image pariwisata Bali kini seperti mobil ringsek karena ditabrak. Karena itu selaku praktisi pariwisata, aku Mandra, pihaknya pesimis menghadapi tahun 2006 karena BTDC mengalami penurunan keuntungan 25 persen, yaitu hanya 22 miliar pada tahun 2005. Namun ada harapan agar pemerintah lebih proaktif dengan reposisi sikap lebih kepada kegiatan memasarkan produk-produk pariwisata yang dimiliki daerah. “Ya kalau mau tangkap buaya maka umpannya harus besar,” ujar Mandra beranalogi secara sederhana.agar ada bujet yang besar untuk biaya promosi pariwisata Indonesia di kancah internasional. Peran fasilitator disini dapat diartikan sebagai menciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku kegiatan kebudayaan dan pariwisata dapat berkembang secara efisien dan efektif. (Beny Uleander/KPO/EDISI 96/DESEMBER 2005)

Read More

Senin, Desember 26, 2005

Beny Uleander

Nusa Dua, Bukit Tandus Jadi Taman Romantis

Kawasan Zero Accident Dilengkapi 16 Unit CCTV

Bunga warna-warni dibalut hamparan padang rumput hijau segar dihiasi jejeran pohon palma mekar menjadi pesona alami bagi wisatawan yang menjejak kaki di pintu gerbang kawasan wisata Nusa Dua. Tata taman nan apik menjadi santapan mata para pelancong yang rindu melihat dandanan taman romantis di tengah hingar-bingar kendaraan dan polusi udara. Kawasan wisata Nusa Dua, seluas kurang lebih 350 Ha, bagaikan kota impian yang bertabur hotel-hotel berbintang dan berbagai fasilitas hiburan bagi wisatawan yang berlibur ke Bali.

Nusa Dua, dahulunya adalah daerah tandus, tidak produktif dan terpencil di Bukit Peninsula, Badung. Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia menunjuk sebuah Konsultan Perancis, societe Centrale pour I’equipeent Touristque Outre-Mer (SCETO), untuk membuat rencana induk pengembangan pariwisata Bali dengan pemkiran bahwa akomodasi pariwisata pada masa yang akan datang harus dikembangkan lebih lanjut di daerah Sanur dan Kuta.Namun tujuan utama pengembangan di masa yang akan datang akan dikonsentrasikan di Nusa Dua.

Berdasarkan PP No 27 Tahun 1972, pada tanggal 12 November 1973 berdiri PT (Persero) Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation). BTDC pun sukses menyulap lahan tandus menjadi kawasan wisatawan yang menarik dan terkenal di mancanegara sebagai salah satu dari 6 kawasan wisata terbaik di dunia. BTDC mengundang investor untuk membangun fasilitas pariwisata yang berkuakualitas internasional.

Pada tahun 1981, Garuda Indonesia Airways sebagai investor pertama, membangun Hotel Nusa Dua Beach, investor berikutnya membangun Bali Sol/Melia Bali dan Hotel Putri Bali. Selanjutnya Club Mediterrance. Tahun 1987 dibangun Sheraton Nusa Dua Indah, Sheraton laguna, Galleria Nusa Dua, Grand Hyatt, Bali Hilton dan lapangan golf. Amanusa berdiri tahun 1991, Lown Bowling tahun 1999 serta pembangunan Villa Kayu Manis.

Meski pariwisata Bali sedang dilanda mendung kelabu, Dirut BTDC Ir I Made Mandra menegaskan BTDC tetap terus berkiprah mengembangkan kwasan siap bangun yang berwawasan lingkungan dengan infrastruktur yang berkualitas internasional. Kini ada tiga hal yang ditanya turis asing sebelum datang ke sebuah destinasi wisata, yaitu security check, patrol check dan call center online. “Kami berusaha meningkatkan keamanan berstandar internasional. Sekarang pintu masuk cuma satu dan ada pemeriksaan umum di pintu masuk serta pemeriksaan berkala keliling kawasan. Pemeriksaan intensif terhadap tamu dan kendaraan dilakukan satpam masing-masing hotel,” ungkap Mandra ketika mengumumkan PT BTDC meraih penghargaan dari Majalah Investor sebagai BUMN Terbaik 2005 untuk Kategori Jasa & Perdagangan.

Meski pernah meraih penghargaan sebagai kawasan Zero Accidennt 2001-2004, kawasan ini berusaha memberikan rasa nyaman bagi wisatawan. “Kami menyiapkan 16 unit cctv untuk merekam setiap orang yang keluar masuk Nusa Dua yang tersimpan selama 10 hari.Untuk tenaga pengamanan, ada 80 satpam dan masing-masing hotel memiliki 16 sampai 20 satpam. Kemudian dibantu polisi pariwisata, polisi air dan polisi Bualu,” ungkap Made Mandra. (Beny Uleander/KPO/EDISI 96/26 DESEMBER 2005)


Read More

Sabtu, Desember 24, 2005

Beny Uleander

Perlu Bangun Image Sekaligus Produk

Recovery Pariwisata Bali
Sudah dua kali, Bali diguncang bom yang oleh kalangan media disebut dengan bom Bali I dan II. Akibat langsung dari dua peristiwa yang memilukan ini adalah anjloknya kunjungan wisatawan ke Bali. Hal ini sangat berpengaruh terhadap berbagai sektor lainnya, misalnya ekonomi, pendapatan, tenaga kerja, keamanan. Pada bom Bali Oktober 2004, tingkat kunjungan wisatawan anjlok seketika tetapi dalam waktu yang relatif singkat sudah pulih bahkan melejit dengan sangat pesat. Bahkan tahun 2004 adalah tahun rekor tertinggi dalam sejarah untuk jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. “Kondisi ini sudah menuju ke recovery pariwsata Bali akibat bom Bali I, yang berjumlah 1.453.000-an orang atau naik lebih dari 60-70%. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena meletusnya peristiwa bom Bali II,” ungkap Nurjaya, Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Bali.

Pada peristiwa bom Bali II, kondisi kunjungan tidak langsung anjlok seketika, tetapi menurun secara perlahan-lahan. Harapan dan prediksi dari berbagai kalangan agar kondisi serupa bisa terjadi seperti pada peristiwa bom Bali I sia-sia. Sepinya tamu yang berkunjung ke Bali menjadi keluhan klasik para pelaku hotel, travel agen, pemilik art shop, para sopir dan berbagai usaha jasa lainnya. Banyak kamar hotel ibarat gua dingin tanpa penghuni. Data terakhir menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan menurun hingga 2.000 orang perhari dari 4.500 orang perhari. Angka ini mungkin terus akan merosot bila tidak segera disolusi secara bijakasana oleh berbagai kalangan yang berkompeten di dalamnya.

Menurut Nurjaya, kondisi pariwisata Bali akan pulih dengan membangun image bagi masyarakat umumnya yang disertai dengan penataan produk-produk baru dari berbagai aset wisata. Perlunya membangun image disebabkan isu sentral yang berkembang adalah keamanan yang tidak kondusif. Padahal dari segi keamanan sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini terbukti dengan tertangkapnya gembong teroris Dr. Azhari, terungkapnya kasus ledakan bom Jimbaran dan Kuta, terbentuknya Badan Potensi Pengamanan Daerah, dan bahkan sekarang ada tambahan 6.000 personil polisi yang ditempatkan di Bali, serta bantuan intelijen TNI untuk memperkuat intelijen Polri. “Kita mengakui bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan sepi, tetapi kita mesti menunjukkan kepada dunia tentang berbagai hal yang kita lakukan untuk pemulihan kondisi yang ada,” ungkap Nurjaya optimis.

Nurjaya mengakui masih lemahnya para Public Relation untuk giat promosi di luar negeri, dalam rangka menggarap pasar-pasar baru selain pasar lama yang telah digarap. Sasaran pasar baru terutama Cina dan India, sedangkan pasar lama adalah Australia, Jepang, Korea, Jerman, Perancis. Dalam kondisi seperti sekarang, alternatif terbaik adalah mendorong wisman lokal untuk datang ke Bali. Survei membuktikan banyak orang Indonesia yang tidak mengenal wilayah lain selain wilayahnya sendiri. Kondisi ini membuat pemerintah SBY menghimbau agar orang lebih banyak berlibur ke Bali. Akibatnya, para pelaku pariwisata Bali harus lebih mengutamakan produk-produk lokal yang bisa dinikmati tamu lokal. (Arnold Dhae & Beny Uleander)

Read More

Kamis, Desember 22, 2005

Beny Uleander

Kunjungan Turis Sepi, PR Lemah Berpromosi

Sudah dua kali, Bali diguncang bom yang oleh kalangan media disebut dengan bom Bali I dan II. Dua peristiwa ini mengakibatkan lesunya kunjungan wisatawan ke Bali. Menurut Gede Nurjaya, lesunya kunjungan wisatawan ke Bali adalaha akibat dari lemahnya promosi para Public Relation (PR) ke luar negeri dalam rangka menggarap pasar-pasar baru selain pasar lama yang telah digarap. Sasaran pasar baru terutama Cina dan India, sedangkan pasar lama adalah Australia, Jepang, Korea, Jerman, Perancis. “Kita mengakui kenyataan di lapangan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke Bali menurun drastis akibat isu sentral keamanan yang tidak kondusif. Tapi kita juga mesti menunjukkan kepada dunia bahwa kita telah berbuat banyak untuk mengatasi kondisi ini. Dan ini adalah tugas para PR, para pelaku pariwisata dan pers,” urai Nurjaya meyakinkan.

Nurjaya melanjutkan, tahun 2004 adalah tahun rekor tertinggi dalam sejarah untuk jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Kondisi ini sudah menuju ke recovery pariwisata Bali akibat bom Bali I, yang berjumlah 1.453.000-an orang atau naik lebih dari 60-70%. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena meletusnya peristiwa bom Bali II. Pada peristiwa bom Bali II, kondisi kunjungan tidak langsung anjlok seketika, tetapi menurun secara perlahan-lahan. Sepinya tamu yang berkunjung ke Bali menjadi keluhan klasik para pelaku hotel, travel agen, pemilik art shop, para sopir dan berbagai usaha jasa lainnya. Banyak kamar hotel ibarat gua dingin tanpa penghuni. Data terakhir menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan menurun hingga 2.000 orang perhari dari 4.500 orang perhari.

Kondisi pariwisata Bali akan segera pulih dengan membangun image bagi masyarakat umumnya yang disertai dengan penataan produk-produk baru dari berbagai aset wisata. Ini menjadi prioritas promosi oleh para PR dan pelaku pariwisata lainnya. Promosi ini tidak mesti harus berkunjung ke luar negeri tetapi dengan menguasai teknologi informasi. Promosi harus diperkuat dengan akurasi data dan foto-foto tentang pemulihan kondisi pariwisata Bali.

Penangan dalam bidang keamanan sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini terbukti dengan tertangkapnya gembong teroris Dr. Azhari, terungkapnya kasus ledakan bom Jimbaran dan Kuta, terbentuknya Badan Potensi Pengamanan Daerah, dan bahkan sekarang ada tambahan 6.000 personil polisi yang ditempatkan di Bali, serta bantuan intelijen TNI untuk memperkuat intelijen Polri. Dalam kondisi seperti sekarang, alternatif terbaik adalah mendorong wisman lokal untuk datang ke Bali. Survei membuktikan banyak orang Indonesia yang tidak mengenal wilayah lain selain wilayahnya sendiri. Kondisi ini membuat pemerintah SBY menghimbau agar orang lebih banyak berlibur ke Bali. Akibatnya, para pelaku pariwisata Bali harus lebih mengutamakan produk-produk lokal yang bisa dinikmati tamu lokal. (Arnold Dhae & Beny Uleander)

Read More

Selasa, Desember 20, 2005

Beny Uleander

Pariwisata Lesu Promosi Digencarkan

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa pariwisata Bali, kini mengalami mati suri setelah mengalami pukulan untuk kedua kalinya. Masalah keamanan Bali tentunya menjadi kendala utama untuk mengembalikan pariwisata Bali kepunak kejayaannya. Untuk itu dibutuhkan kerja yang cukup ekstra dari pemerintah, pengusaha serta pelaku pariwisata untuk membangkitkan kembali dunia pariwisata Bali. Seperti yang diungkapkan Grace Jeanie, Public Relation Manager Sector Bar & Club, Bali Beach Golf Course.

Berbagai cara pun ditempuh untuk meramaikan acara malam tahun baru, 31 Desember 2005. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menggandeng production Jakarta serta artis ibu kota untuk mempromosikan keamanan Bali yang mulai pudar akibat terjadinya bom. ‘’Saya mengajak salah satu production di Jakarta untuk melakukan promosi di kawasan Jakarta seminggu sebelum acara. Kebetulan partner kita kenal banyak artis, jadi sekalian untuk melakukan promosi kalau Bali sudah aman,” jelasnya.

Selain itu, promosi juga gencar dilakukan di kota semarang dan Bali tentunya. Apa yang dilakukan Sector Bar & Club di malam akhir tahun pertama kali ini, bagi Jeanie merupakan langkah kongkrit untuk turut serta menggairahkan kembali pariwisata Bali. ‘’Harapan kami acara ini bisa menarik minat wisatawan domestik baik dari Jakarta maupun daerah-daerah lain di Jawa untuk datang ke Bali. Sehingga kepercayaan wisatawan mancanegara akan keamanan Bali kembali pulih,” harapnya.

Perayaan malam tahun baru dengan tema Coyote Nite, memberikan ambience yang sexy dan luscious ala film coyote ugly yang sangat terkenal di Inggris. Selain itu, acara tersebut juga dimeriahkan dengan kehadiran Kaimsasikun Band dan DJ dari Embassy Club Jakarta. Untuk lebih menarik minat pengunjung di tengah sepinya wisatawan ini, Jeanie pun memberi harga spesial yang relatif murah. ‘’Kita tidak seperti tempat lain yang biasanya mematok harga mahal. Kita disini memberikan harga yang sangat terjangkau, di bawah harga pada hari-hari biasa,” jelasnya. (Beny Uleander & Made Sutami)

Read More

Senin, Desember 05, 2005

Beny Uleander

Sering SMS Kayak Pacaran

Kekompakan Reza Bukan & Farid Aja

Dunia presenter dan talk show rupanya sudah menjadi pilihan hidup Reza Bukan dan Farid Aja. Duo MC ini menyatakan ikrar di Kamasutra untuk terus berpartner dengan title Reza Farid atau Farid Reza. “Pokoknya di mana ada Reza di situ ada Farid. Bedanya, Reza langsung dikenal dari gemuknya, kalo saya karena kurus pakai tanda khas warna di rambut kepala,” ujar Farid Aja didampingi Reza Bukan.

Kisah Farid, dirinya bertemu Reza awalnya di sebuah kafe dalam memandu sebuah acara. Dari situ ada orang yang melihat kami cocok jadi partner. Lalu kami pandu acara ngerjain orang. Dari situ public relation yang tertarik dengan penampilan kami,” kenang Farid kelahiran Pati, Jateng, 7 April 1974 dari pasangan H Ali Muntaha dan Hj Ismiati.

Guna mempererat hubunga, mereka sering berkontak lewat HP. “Kami setiap hari sering sms-sms-an. Pokoknya kayak orang pacaran. Karena kami sudah belajar dari pengalaman untuk selalu bersama. Kadang kami ke jalan-jalan ke mall untuk berdiskusi atau dapat bahan-bahan baru,” sambung Reza, kelahiran Jakarta, 26 November 1980.

Terkait perbedaan umur yang mencolok di antar mereka, bagi Farid, bukan merupakan masalah sebaliknya menjadi sebuah potensi menjaga kualitas penampilan. “Kalo memandu acara orang dewasa, saya beri banyak input kepada Reza. Sebaliknya, kalo acara remaja, saya banyak bertanya kepada Reza, kira-kira gimana sukanya anak muda,” tutur sarjana arkeologi tamatan UI tahun 2000, suami dari Dessy dan ayah dari Deva (2,5).

Soal manajemen, papar Reza, selama ini mereka sendirian dalam menghandle setiap tawaran talk show. “Saat ini kami sudah pikir tentang kehadiran manajemen. Tapi soal manajemen seperti cari pacar. Untuk sementara kami ikuti prosedur tawaran yang ada,” tutur Reza dengan suara ngakaknya yang khas.

Untuk menjaga penampilan, mereka pun sepakat mengikuti trend terkini. “Soal mode kita ikuti trend sekarang. Sesuai dengan anak muda.di Jakarta trend pakai anting berlian,” tutur Reza yang kerap menemani Farid ke Taman Burung berburu barang bekas seperti tape radio, jam tangan dan kacamata. (Beny Uleander/KPO Edisi 5/Desember 2005)

Read More
Beny Uleander

Koleksi Tas Bekas

Profil Rianti Rhiannon Cartwright

Rianti Rhiannon Cartwright (22) termasuk pendatang baru di layar sinema elektronik (sinetron). Hidungnya mancung khas turunan blasteran. Ayahnya Dachlan Cartwright dari Inggris dan ibunya Srie Sutisnawati asal Bandung. Kulit putih mulus dengan tinggi badan 162 cm dan berat 45 kg membuat penampilan Rianti, begitu sapaannya, mencuri perhatian penonton dalam laga fashion show di Kamasutra, Kuta, Bali. Langkahnya ringan gemulai dirangkai senyum artificial selebritis yang memukau. Applaus penonton pun diraihnya.

Puteri bungsu dari dua bersaudara ini mengaku sudah siap terjun di dunia selebritis. Meski begitu, bagi Rianti, gaya hidup haruslah tetap sederhana. Dunia artis kadang diidentikan dengan dunia glamour bertaburan kemewahan. Menurut Rianti soal gaya hidup para selebritis tergantung pada pribadi bersangkutan. “Ada yang bergaya hidup mewah dan ada yang biasa-biasa saja. Bagi saya yang penting kita bisa bergaul dengan siapa saja. Bedanya, seorang artis itu memiliki akses yang luas.,” ujar dara kelahiran Bandung 22 September 1983 yang masih tercatat sebagai siswi Bandung International School University of Tasmania.

Soal belanja pakaian, aku Riantri tidak ada target bahwa setiap bulan harus beli yang baru. Yang penting kalau ada uang dan membutuhkannya pasti ia akan belanja, entah di Jakarta, Bandung atau Bali.

Soal berburu barang bekas, Rianti cenderung mengoleksi tas bekas yang masih berkualitas. “Pernah saya diajak teman berburu barang bekas seperti barang elektronik dan tas bekas yang masih bagus. Kalau ke baju saya tidak beli yang bekas. Kalau bisa beli yang bari kenapa tidak,” tandasnya.

Rianti mengaku sering mejeng di Pasar Kosambi di Bandung yang banyak menjual barang bekas. “Di sana banyak barang masih bagus kualitas hanya kita mesti sabar mencari bisa dua sampai tiga jam. Harganya murah banget,” tuturnya.

Soal penampilan, Rianti menyukai busana casual. “Nggak terlalu ramai. Yang penting simpel dan nayaman. Kalau untuk rok mini, saya hanya pakai di Bali karena di sini suasana pantai, panas dan orang sudah biasa. Tetapi di Jakarta, saya jarang memakai rok mini,” bukanya soal penampilan.

Soal karirnya di dunia sinetron, Rianti mengakui dirinya masih perlu banyak belajar. “Saya merasa belum mampu sepenuhnya. Saya masih belajar. Kalau ada surtadara yang menunjuk saya mampu memainkan peran tertentu akan saya coba,” ujar gadis yang gemar fitness dan menghindari makanan yang berlemak. (Beny Uleander/KPO Edisi 5/Desember 2005)

Read More
Beny Uleander

Koleksi Tas Bekas

Rianti Rhiannon Cartwright

Rianti Rhiannon Cartwright (22) termasuk pendatang baru di layar sinema elektronik (sinetron). Hidungnya mancung khas turunan blasteran. Ayahnya Dachlan Cartwright dari Inggris dan ibunya Srie Sutisnawati asal Bandung. Kulit putih mulus dengan tinggi badan 162 cm dan berat 45 kg membuat penampilan Rianti, begitu sapaannya, mencuri perhatian penonton dalam laga fashion show di Kamasutra, Kuta, Bali. Langkahnya ringan gemulai dirangkai senyum artificial selebritis yang memukau. Applaus penonton pun diraihnya.

Puteri bungsu dari dua bersaudara ini mengaku sudah siap terjun di dunia selebritis. Meski begitu, bagi Rianti, gaya hidup haruslah tetap sederhana. Dunia artis kadang diidentikan dengan dunia glamour bertaburan kemewahan. Menurut Rianti soal gaya hidup para selebritis tergantung pada pribadi bersangkutan. “Ada yang bergaya hidup mewah dan ada yang biasa-biasa saja. Bagi saya yang penting kita bisa bergaul dengan siapa saja. Bedanya, seorang artis itu memiliki akses yang luas.,” ujar dara kelahiran Bandung 22 September 1983 yang masih tercatat sebagai siswi Bandung International School University of Tasmania.

Soal belanja pakaian, aku Riantri tidak ada target bahwa setiap bulan harus beli yang baru. Yang penting kalau ada uang dan membutuhkannya pasti ia akan belanja, entah di Jakarta, Bandung atau Bali.

Soal berburu barang bekas, Rianti cenderung mengoleksi tas bekas yang masih berkualitas. “Pernah saya diajak teman berburu barang bekas seperti barang elektronik dan tas bekas yang masih bagus. Kalau ke baju saya tidak beli yang bekas. Kalau bisa beli yang bari kenapa tidak,” tandasnya.

Rianti mengaku sering mejeng di Pasar Kosambi di Bandung yang banyak menjual barang bekas. “Di sana banyak barang masih bagus kualitas hanya kita mesti sabar mencari bisa dua sampai tiga jam. Harganya murah banget,” tuturnya.

Soal penampilan, Rianti menyukai busana casual. “Nggak terlalu ramai. Yang penting simpel dan nayaman. Kalau untuk rok mini, saya hanya pakai di Bali karena di sini suasana pantai, panas dan orang sudah biasa. Tetapi di Jakarta, saya jarang memakai rok mini,” bukanya soal penampilan.

Soal karirnya di dunia sinetron, Rianti mengakui dirinya masih perlu banyak belajar. “Saya merasa belum mampu sepenuhnya. Saya masih belajar. Kalau ada surtadara yang menunjuk saya mampu memainkan peran tertentu akan saya coba,” ujar gadis yang gemar fitness dan menghindari makanan yang berlemak. (Beny Uleander/KPO Edisi 5/Desember 2005)

Read More