Kamis, Agustus 14, 2008

Beny Uleander

Jurang Dijadikan Pasar

I Gusti Rai Putrayasa, SH Perintis Pasar Pengosari
Tidak banyak orang yang mau ribet mengurus sebuah pasar tradisional. Termasuk para pejabat pemerintahan. Belum masalah pedagang, sampah, semrawut dan lain-lain. Memang sangat sulit. Namun lain halnya dengan I Gusti Rai Putrayasa, ayah dua anak yang mendirikan sebuah Pasar Pengosari di kawasan Kerobokan, Badung. Pendirian pasar tersebut semata-mata karena rasa kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar.

Ia mendirikan Pasar Pengosari pada tahun 1991. Luasnya mencapai 50 are dengan jumlah pedagang sebanyak 300 pedagang. “Dulunya tempat tersebut adalah sebuah jurang yang kemudian saya timbun untuk mendirikan pasar,” ungkapnya kepada Koran Pak Oles.
Ternyata pasar yang dirintisnya menjadi “ladang usaha” pedagang sekitar Kerobokan dan dari luar Bali. Begitu pula dengan pembeli. Mereka datang dari berbagai penjuru tapi memang kebanyakan berasal dari lokasi sekitar pasar. “Hampir semua kebutuhan ada di sana, terutama kebutuhan untuk masyarakat Bali yang memiliki budaya cukup kental,” ujar pria kelahiran Badung, 31 Maret 1962 silam.
Untuk pengamanan dan kebersihan lingkungan pasar, anggota DPRD Badung ini melibatkan 6 orang warga sekitar pasar Pengosari tepatnya di Banjar Gede Kerobokan. “Sementara untuk kebersihan saya percayakan ke perusahaan swasta untuk mengangkut sampah untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah,” tambah suami dari Herawati yang pernah menimba pengalaman kerja di beberapa hotel berbintang di daerah wisata Kuta.
Melihat kiprah pasar tradisional sebagai jantung perekonomian masyarakat kecil, Rai Putrayasa berharap pemerintah daerah merespon dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, pribadi atau desa adat untuk mendirikan sebuah pasar jika ada yang ingin mendirikannya. Apalagi melihat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh pasar sangat tinggi.
Read More
Beny Uleander

Pasar Badung; Denyut Ekonomi Yang Berdetak 24 Jam

Pasar Badung sebuah pasar tradisional di Kota Denpasar yang hidup 24 jam sebagai jantung ekonomi rakyat jelata. Letaknya bersebelahan dengan Pasar Kumbasari yang kini dalam tahap renovasi paska terbakar tahun 2007 lalu. Terletak di sisi timur dan utara tukad (sungai) Badung.
Pasar Badung dan Kumbasari dihubungkan tiga jembatan. Sebuah jembatan besar dalam lintasan Jl Gajah Mada yang dilalui mobil, sepeda motor maupun pejalan kaki dan bisa tembus Jl Gunung Kawi. Kedua jembatan lain dibangun khusus bagi para pejalan kaki, konsumen atau pedagang selebar 1 meter. Tak heran pengunjung sering berdesakan kala melintasi jembatan itu.

Selain 'ladang' yang menyiapkan ragam bahan kebutuhan pokok, pasar juga tempat pertukaran kebudayaan. Pasar Badung telah menjelma menjadi ruang interaksi sosial antara masyarakat lokal dan pendatang. Ada transaksi tukar-menukar dan jual beli produksi pertanian, barang kerajinan, perlengkapan upacara adat atau agama dan industri rumah tangga.
Pasar Badung menyimpan sejarah nan panjang. Konon tukad Badung jadi lintasan pasukan ekspedisi Belanda yang bergerak menuju Pamecutan dari Denpasar pada peristiwa Puputan Badung, 20 September 1906.
Aktivitas ekonomi yang tinggi sejalan citra Denpasar sebagai kota budaya yang ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Secara tidak langsung turut berpengaruh peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan pokok dan barang. Wisatawan kerap belanja di pasar itu. Sebagai ibu kota propinsi, Pasar Badung menjadi penyangga nadi ekonomi pedagang kecil dan penyedia kebutuhan pokok yang murah meriah. Tak heran, Pasar Badung yang dibangun tahun 1977 sempat hangus dilalap api tahun 2000 dan kembali direnovasi yang berakhir tahun 2001.
Pagi dini hari, pukul 02.00 WITA para pedagang, pemborong sayur dan buah-buahan sudah berdesakan. Kendaraan tumpah ruah di areal parkir. Di emperan pertokoan Jl Sumatera, ada gadis-gadis dakocan (dagang kopi cantik) yang menjual nasi jinggo dan minuman. Memang tampang mereka cantik-cantik. Biasanya para dakocan berjualan dari pukul 24.00 sampai 03.00 Wita dini hari. Pengunjung dapat memasuki Pasar Badung via Jl Gajah Mada (dari Utara), di sebelah Barat Pos Pecalang dan Candi Bentar, Jl Sulawesi (dari Timur dan Selatan), atau lewat jalan masuk Pasar Kumbasari dan Jl Gunung Kawi.
Bangunan Pasar Badung dengan konstruksi arsitektur Bali tergolong bangunan monolit, berlantai 4, berdiri di atas lahan 6.230 m2, dengan luas lantai 8.016.00 m2. Gedung induk memiliki 8 tangga; 6 di pojok-pojok gedung, 1 di tengah dan 1 di barat.
Pasar Badung kini menampung banyak pedagang, yang menempati 295 kios, 1363 los, 495 di pelataran dan 7 kios yang dibangun pedangan di tanah kosong dalam kompleks pasar. Lantai I digunakan untuk pedagang canang, bunga, buah, sayur dan jenis kue (bagian depan dan tengah), ikan, unggas, telur dan daging (bagian belakang). Lantai II bagi pedagang beras, kacang atau sembako. Lantai III (depan dan tengah) untuk pedagang kain, baju, pakaian sembahyang ke pura dan perlengkapan upacara, serta bagian selatan (belakang) ditempati pedagang makanan dan minuman.
Khusus lantai IV untuk kegiatan perkantoran PD Pasar Kota Denpasar, yang dilengkapi ruang aula, pertemuan terbatas, sekpri, dirut, dirut I, Dirut II, bagian umum, keuangan, teknik, pengawasan, kebersihan dan pertamanan, koperasi, pelayanan kesehatan reproduksi milik Yayasan Rama Sesana (YRS), kepala unit Pasar Badung, Dharma Wanita Persatuan dan toilet. Di 3 sudut bangunan (lantai bawah) ada 3 buah toilet publik (di barat laut, barat daya dan tenggara).
Rancangan arsitektur memang menjelimet namun ada terobosan elegan dan holistik. Menyiasati suasana gelap di beberapa sisi ruangan lantai II dan III ada gubahan dinding terbuka yang didukung dua buah void (lubang), salah satunya tembus ke lantai satu, sehingga masuknya penerangan sinar matahari dan udara segar dari luar. Pasar Badung memang dikenal sebagai pasar yang padat dan ramai. Di dalam areal pekarangan, membludak mobil dan sepeda motor pembeli dan penjual, dekat Posko Informasi, Keamanan dan Trantibnas.
Pasar Badung memiliki dua keunikan. Pertama, bertebaran para WTS (wanita tukang suun) yang menawarkan jasanya untuk mengangkat barang (suun) belanjaan dari konsumen. Jasa ini kian marak karena penataan parkir yang cukup baik di sekitar areal pasar.... yang justru menyebabkan jarak tempuh dari pasar dan tempat parkir jadi cukup jauh. Apalagi bila ada konsumen yang harus membawa belanjaan dari dalam pasar sedangkan parkir mobil ada di Jl Kartini. Lumayan jauh jarak yang ditempuh para wanita tukang suun dengan patokan harga Rp 5000, Rp 10.000 sampai Rp 20.000.
Keunikan kedua; ada tempat suci (unsur parahyangan) pasar atau pura pasar, yang lazim disebut Pura Melanting. Dalam balutan arsitektur Bali, areal Pasar Badung dibatasi tembok panyengker gaya Badung/Denpasar. Di sebelah Utara bangunan ada Pura Melanting Sari Buana, dan di Selatan ada Pura Beji Pasar Badung. Aspek ini sejalan dengan religiositas masyarakat Hindu Bali yang selalu berpegang pada konsep Tri Hita Karana, dengan berlandaskan ajaran Agama Hindu guna tercapainya hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam lingkungan. Mengamati suasana harian di kompleks bangunan pasar, PD Pasar perlu meningkatkan standar pengawasan sanitasi pasar tradisional yang meliputi pembuangan limbah, sampah, kebersihan MCK, sirkulasi, pencapaian, penanggulangan bahaya kebakaran, keamanan dan kenyamanan konsumen dalam berbelanja. (KPO EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Kala Pintu Liberalisasi Kian Terbuka Lebar

Pemerintah Indonesia membuka pintu liberalisasi ekonomi yang selebar-lebarnya kepada perusahaan-perusahaan raksasa internasional. Sebuah kenyataan ekonomi yang sulit dikelit negara berkembang. Lantas, rakyat kecil tertatih-tatih menggarap celah-celah usaha medioker dengan omzet di bawah Rp1 jutaan.
Mal, supermarket maupun hypermarket, misalnya, secara simultan dikelola pemodal asing. Carefour misalnya, mulai menancapkan jejaring usahanya di beberapa kota besar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan eksistensi pasar tradisional dengan ciri komunikasi interaktif pembeli dan penjual itu? Tak bisa dipungkiri kini pasar tradisional di daerah perkotaan kian termarjinal oleh pembangunan supermarket, swalayan dan puluhan outlet. Padahal pasar tradisional menjadi penyangga dan tulang punggung perekonomian rakyat kecil. Dosen Undiknas Drs Ida IDM. Rai Mahaputra MS berharap pemerintah daerah sepatutnya memproteksi keberadaan pasar tradisional.
Jangan lupa, para pelaku ekonomi pasar tradisional adalah kalangan dan komunitas kelas bawah, pebisnis pemula yang baru belajar menjadi entrepreneur. Sebagai ciri budaya bangsa, pasar tradisional perlu dipertahankan dan dipelihara karena memiliki daya pikat bagi pelancong luar.
Suasana pasar yang kumuh, kotor dan perparkiran yang semrawut dilihat sebagai akibat perhatian pemerintah yang setengah hati dan memarjinalkan peran pasar tradisional yang ada. Padahal pasar tradisional memiliki potensi dan andil yang cukup besar dalam menghidupkan roda perekonomian rakyat dan juga mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1997.
Langkah proteksi pemerintah meliputi penyediaan fasilitas dan sarana fisik berupa kios, los, kenyamanan, keamanan, kebersihan, parkir dan akses transportasi serta pemberdayaan SDM para pelaku pasar. Bila langkah pemberdayaan pasar tradisional berjalan efektif bukan tidak mungkin pasar rakyat ini akan menampilkan citra "One Stop Shoping" yang dimiliki pasar modern. Sekali berbelanja berbagai kebutuhan bisa terpenuhi mulai dari produk sampai dengan sarana hiburan lainnya tersedia.
Ada kesan kuat mencuat, pemerintah daerah kurang cerdas mengatur tata ruang lokasi pasar modern dan pasar tradisional. Hampir semua daerah tidak memiliki zona jelas dan tegas terkait kompleks bisnis, ruang sosial, kawasan pemukiman, dan termasuk pasar. Ada alih fungsi tata ruang yang tidak terkendali, misalnya kompleks yang semula dijadikan pemukiman masyarakat, tiba-tiba berubah jadi swalayan atau supermarket dan kompleks ruko.
Akibatnya daya saing pasar tradisional melemah bahkan sekarat dalam segala macam persoalan, --pemasaran, modal dan produksi. Produk-produk yang dipasarkan hanya kelas dua atau kelas tiga. Sedangkan yang kelas satu, kelas super atau kelas istimewa sudah disadap dan dipasarkan pasar modern seperti hypermarket, supermarket dan hotel.
Pemerintah terkesan begitu longgar memberikan payung proteksi kepada pasar tradisional, khususnya sosialisasi aturan dan tata tertib yang berlaku. Misalnya pedagang (pelaku pasar) cenderung berjualan pada sembarang tempat sehingga mengurangi tempat-tempat penimbunan barang atau parkir. Pemda tidak cukup hanya menyediakan tempat berupa gedung, tetapi pembinaan agar pelaku pasar mampu mengadapi persaingan dengan modal yang memadai. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Selebritas Pemberitaan

Setiap insan dalam segala keelokan talenta menyisir alur kehidupan terberi. Jejak fase kehidupan menghidangkan kerumitan dari masa kana-kanak, remaja hingga dewasa. Di belahan pengalaman kegembiraan maupun semburat duka bercampur tangis bersemi sinar harapan. Ya…manusia mencari dan terus mencari hari demi hari sebuah alasan eksistensial. “Untuk apa saya hidup dan ke mana saya akan melangkah!”
Kegamangan yang amat mendalam ini kerap mendorong manusia masuk dalam alam refleksi. Ada saat di mana seseorang diam hening berbincang intens dengan dirinya. Ia mematangkan pandangan hidupnya secara rohaniah dengan menekuni kitab-kitab keagamaan yang diyakini. Ia menenangkan kegelisahan nurani dengan menyerap butir-butir kebijaksanaan dari orangtua, guru, sahabat dan teman hidup yang dijumpai. Muara penemuan diri berujung pada kerendahan hati: setiap insan –yang berbeda ras, agama dan budaya—adalah duta-duta kehidupan.
Keajaiban terjadi kala seseorang menyadari dirinya sebagai pribadi yang mandiri, bebas dan otonom. Pribadi yang memiliki potensi pengembangan diri dan aktualisasi karakter. Hanya ada satu Barack Obama. Cuma ada satu Sheila Marcia. Juga Osama Bin Laden berbeda dengan Mike Tyson. Setiap pribadi mengukir kisah hidupnya sendiri. Kita tidak ditugaskan untuk bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Namun kesadaran kita akan benih-benih kebaikan membuat kita lebih awas untuk tidak melukai kehidupan dengan amarah, dendam dan irihati.
Saat ini gendang pengungkapan korupsi terdengar ramai. Silat lidah politikus muda dan tua seperti sebuah ketoprak humor. Pengurus partai maupun tokoh independen gencar mengiklankan diri. Sementara rombongan aktor dan artis yang terlanjur tersohor mencoba peruntungan di panggung politik maupun kekuasaan. Koruptor, aktivis, penjahat sekelas Verry Idam Henyansyah alias Ryan hingga elite politik di negeri ini menjadi “tokoh publik”. Itulah kekuatan selebritas pemberitaan maupun parade iklan yang berlangsung kontinyu.
Setiap saat selalu ada wajah baru maupun lama yang nongol di layar kaca menyapa kita lewat akrobat peran mereka dalam kisah tertentu. Wajah Artalyta Suryani begitu familiar bak artis dadakan. Sosok Roy Surya sang pengamat IT dengan suara analisis terekam akrab di telinga pemirsa. Tawa renyah Oprah Winfrey menyapa bintang tamu sudah seperti suara orang terdekat di hati kita.
Selebritas pemberitaan membuat obyek pemberitaan menjadi subyek tontonan mengasyikkan. Tragedi maupun bencana seperti pentas kolosal di sebuah tempat. Masyarakat digital kerap tak peduli dengan masalah-masalah krusial kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri.
Demikian pula di pentas politik, rakyat digiring mendewakan tokoh-tokoh muda yang dicitrakan dinamis dan penuh daya dobrak. Tapi, perangkat-perangkat pencitraan “lupa” bahwa yang tersajikan adalah selebritas wacana, opini, asumsi dan prediksi. Bukan selebritas aksi.
Itulah kelemahan krusial yang membuat kita lupa bahwa setiap kita adalah duta kehidupan. Pribadi-pribadi yang menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Karya kita adalah eksistensi kita. Bakti kita adalah kualitas kemanusiaan kita. Itulah yang tidak tertanam sebagai gerak kesadaran untuk membangun bangsa dengan kerja keras dan karya cerdas. Akibatnya kita (bangsa Indonesia) lamban membaca peluang-peluang usaha. Saatnya kita meneladani bangsa Cina dan India yang mulai menawarkan kejayaan peradaban baru di tengah pudarnya dominasi “peradaban Amerika”. Mereka bangsa yang tekun dan pekerja keras. Apakah manusia Indonesia jarang berkomunikasi dengan dirinya, memasuki alam refleksi sehingga tidak mau tahu bahwa hidup adalah berkarya bukan bermimpi. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More

Rabu, Agustus 13, 2008

Beny Uleander

Memetik Hikmah Pemimpin Pro Rakyat

Sharing “Gubernur Jagung” Fadel Muhammad (4-habis)
Pusaran arus pergulatan pembangunan pro rakyat di kawasan Amerika Latin mulai meluas di negara-negara berkembang. Hugo Chaves sukses meraih dukungan rakyat Venezuela untuk kedua kali. Meski sejarah masih menyisakan kisah yang belum terjawab: apakah Chaves akan tergoda oleh kenikmatan kekuasaan. Demikian pula, mayoritas petani miskin Bolivia mendaulat Evo Morales yang sukses menasionalisasi perusahaan asing untuk mengembalikan kedaulatan kekayaan negara.
Trend mengejutkan datang pula dari jantung Amerika Latin, yaitu Paraguay. Uskup Emeritus Fernando Lugo yang dikenal gigih menerjemahkan teologi pembebasan option for the poor terpilih menjadi pemimpin negeri itu. Kembali arsip sejarah yang akan bercerita sukseskah Lugo sebagai pemimpin agama berkiprah di panggung politik yang kotor dan serakah? Yang pasti percikan ideologi kesejahteraan mulai tercecer di berbagai belahan dunia.
Ideologi kesejahteraan entah berbaju sosialisme atau neososialisme tetap sebuah gerakan kesadaran baru era digital ini. Pergulatan pasar bebas yang kapitalistik membentang kenyataan pahit: penjajahan ekonomi yang amat keji. Negara-negara kaya dengan perusahaan raksasa berkolaborasi menancapkan mega proyek pengerukan kekayaan alam di sebuah negara. Jurus lain kolonialisme di abad 21 yang penuh eksploitasi sumber daya alam maupun manusia. Indonesia pun terjepit genggaman arus modal asing dalam berbagai perusahaan asing maupun “blasteran” dari Sabang sampai Merauke.
Seiring debur kencang “tsunami” ideologi kesejahteraan, regenerasi kepemimpinan yang diproduksi kalangan elite politik mulai memudar. Kini pemimpin pinggiran yang tidak terkenal, tapi dengan dukungan rakyat bisa menggapai poros kekuasaan. Uniknya lagi, di tengah “ideologi baru”, rakyat merindukan pemimpin muda yang dianggap segar, penuh vitalitas, dinamis dan jiwa yang terbuka menggapai kemungkinan terjauh menuju perubahan baru.
Lalu apa hubungan ideologi kesejahteraan dan jejak pembangunan yang dirintis Gubernur Fadel Muhammad di Propinsi Gorontalo? Di saat para pengamat politik dan aktivis mencalonkan diri sebagai calon presiden, diam-diam Fadel yang berada di lingkaran elite partai Golkar memilih kembali mengabdi di daerah. Ketika perguliran rezim dikritik gagal memberantas kemiskinan, diam-diam pula Fadel membuat grand desain pembangunan ekonomi lokal yang memadukan kinerja birokrasi dan potensi kerakyatan sebagai tonggak pembangunan daerah.
Sepak terjang Fadel Muhammad memang tidak serta merta mendaulat sosok pemimpin muda itu layak “melirik” kursi RI 1. Namun setidaknya, langkah-langkah pembangunan agraris bisa diretas di negeri ini dan oleh seorang pemimpin muda. Entah tua ataupun muda…pemimpin negeri ini harus berani dan tegas merintis penguatan ekonomi kerakyatan. Tentunya berani menggusur jejaring kapitalis-neokolonialisme modern yang memiskinkan rakyat.(KPO EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More

Minggu, Agustus 10, 2008

Beny Uleander

Alya Rohali Siapkan Bahan Bakar Buat Andjani

“Andjani kalo ke sekolah berangkatnya jam tujuh. Waktu TK, dia sering sarapan di mobil. Saya lalu berpikir tidaklah baik kalo itu jadi kebiasaan,” kenang Alya Rohali (32) mengawali kisah bagaimana ia membiasakan puterinya Namira Andjani Ramadina, berusia 9 tahun, gemar sarapan pagi.
Presenter dan bintang sinetron Alya Rohali hadir di Denpasar bersama puteri semata wayangnya Andjani --buah perkawinan dengan suami pertama Eri Surya Kelana--
membagi tips dan pengalaman kepada orangtua terutama kaum ibu untuk mengisi “bahan bakar” anak sebelum memulai aktivitas seharian.
Sarapan pagi identik dengan mengisi “bahan bakar” sehingga anak memiliki kecukupan energi untuk beraktivitas. Sarapan adalah kegiatan makan yang terpenting bagi anak, setelah makan malam kira-kira 12 jam sebelumnya. Setelah berjam-jam tidak memperoleh asupan makanan, maka tubuh anak membutuhkan sarapan sebagai bekal kegiatannya sepanjang hari.
Riset memperlihatkan bahwa sarapan berperan mendukung prestasi belajar anak di sekolah. Alya Rohali telah membuktikan bahwa anak-anak yang rajin sarapan bergizi, termasuk sereal, akan lebih baik di sekolahnya. “Saya melihat ada korelasi kebiasaan Andjani sarapan pagi dengan prestasinya di sekolah. Andjani jadi jarang sakit, prestasi bagus dan absensinya juga bagus. Andjani jadi jarang jajan di sekolah. Untuk ibu-ibu jangan lupa perhatikan sarapan pagi dan pilih sereal yang bernutrisi,” saran Puteri Indonesia 1996 itu saat menjadi bintang tamu Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut konsultan gizi Nestle Farida Nuryati, sarapan memberi 20-23 persen kebutuhan nutrisi. Sarapan juga mencegah kegemukan dan anak bisa jarang jajan. “Sarapan yang baik terdiri dari biji-bijian yang mengandung karbohidrat, protein dan vitamin yang biasanya terdapat dalam produk gandum utuh,” ujarnya.
Data European Breakfast Cereal Assosiation mengatakan, anak-anak yang sering sarapan sereal lebih tercukupi kebutuhan vitamin dan mineralnya dibanding dengan anak yang jarang sarapan sereal. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Melirik Jajan Alami

Nena Mawar Sari, S.Pi
Anak-anak umumnya doyan jajan alias camilan. Tapi kebiasaan jajan lebih banyak rugi daripada untungnya, seperti diungkap konsultan gizi dan psikolog Nena Mawar Sari, S.Psi. saat ditemui dalam ajang Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut Dosen Akbid Kartini Denpasar itu, jajan tidak bisa menjadi pengganti makanan. Karena jajan tidak cukup mengandung kadar gizi seperti protein, karbohidrat, mineral dan vitamin yang penting untuk pertumbuhan fisik anak.
Ia mengaku prihatin melihat semakin banyak jenis jajan pabrikan dengan bahan pengawet yang beredar di pasaran. “Ibu-ibu sebaiknya membuat sendiri camilan alami seperti singkong. Ngga mungkinlah kita melarang iklan dan penjual jajanan di supermarket,” ujar dara kelahiran Denpasar 16 April 1982.
Ditanya kenapa anak-anak doyang jajan, dosen yang masih lajang ini menyebutkan bahwa anak-anak cepat jenuh atau sulit makan menu yang tidak bervariasi di rumah. Ia mengusulkan kepada para orangtua agar membuat variasi menu makanan yang bisa mengundang nafsu makan anak. “Orangtua sebaiknya tahu dasar-dasar makanan bergizi dan menu dengan sayuran untuk pencernaan perut anak,” ujar Nena Mawar Sari yang juga konsultan LK3.
Misalnya, jelas psikolog muda itu, perpaduan menu yang mengandung daging dan sayuran. Nena Mawar Sari menyebut pangsit isi sayuran yang mengandung vitamin, karbohidrat dan protein bisa jadi alternatif. Atau omlet mie yang terbuat dari telur. “Anak-anak makan di rumah lebih efektif daripada membeli jajanan di supermarket,” urai alumni Universitas Wisnuwardhana Malang tahun 2003. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Biarkan Anak Panah Melejit

IGA Diah Fridari, S.Psi.
Berbicara lugas, cerdas dan penuh perhatian. Itulah gaya komunikasi yang dibangun praktisi psikologi industri dan organisasi IGA Diah Fridari, S.Psi. Saat disinggung dunia tumbuh kembang anak, ibu tiga anak itu dengan sigap menanggapi. Anak-anak adalah sosok kepribadian otonom. Mereka memiliki karakter dan kepribadian sendiri. “Ya seperti ditulis penyair Khalil Gibran, anak itu ibarat anak panah yang dibiarkan melejit,” tukas Diah, demikian sapaannya.
Karena itu, orangtua tak perlu membentuk sepenuhnya kepribadian anak sesuai selera ayah ibu. “Memang ada teori tabula rasa. Anak seperti kertas kosong, tapi sebenarnya dalam diri anak ada potensi karakter yang bakal bertumbuh,” urai Diah yang menyelesaikan Magister Profesi Psikologi Unair Surabaya 2006 lalu.
Lantas wanita kelahiran Denpasar, 2 Februari 1974 silam itu mengusulkan orangtua lebih menerapkan pola pengasuhan otoratif yang mengutamakan cinta orangtua tanpa pamrih kepada anak. Ada komunikasi yang terbangun antara anak dan orangtuanya. Selain itu, anak dibawa ke arah empati sehingga anak kelak memiliki kecakapan sosial. Tentunya berbeda dengan pola asuh otoriter atau permisif yang serba membolehkan anak tanpa disiplin. “Orangtua harus jadi pendamping dengan rasa respek kepada anak dan memandang dunia dari sudut pandang anak,” saran istri dr IB Krisna Wiweka itu.
Selain memperhatikan faktor gizi dan makanan anak, Diah Fridari, mengajak orangtua memperhatikan kesehatan psikis anak. Pola pendampingan orangtua berpengaruh pada pertumbuhan mental anak. “Pikiran itu sumber penyakit. Stres dan depresi terjadi karena pikiran. Memang sih ada virus dan bakteri yang mendatangkan penyakit,” ujarnya.
Diah lebih menekankan pendampingan orangtua yang membuat anak memiliki konsep diri yang matang. “Anak-anak jadi lebih optimis secara mental bukan kognitif. Kita lihat saja anak-anak yang tinggal di panti asuhan melihat kasih sayang sebagai barang yang mahal. Akibatnya secara psikologis timbul penolakan terhadap diri sendiri yang terungkap dalam sikap agresif, psikopat atau minder sebagai mekanisme pembelaan diri dari rasa tidak nyaman atau kompensasi,” urainya lagi. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More