Rabu, November 30, 2005

Beny Uleander

Binatang Teknologi

Manusia adalah binatang teknologi. Inilah salah gelar manusia yang diperoleh bukan oleh faktor genetis tetapi karena hasil pergulatan intelektual manusia dalam pengembangan sains dan teknologi. Lagi-lagi revolusi industri menjadi obor sejarah bahwa manusia dalam kontemplasi (perenungan) teori empiris dan dorongan spiritual terus memaknai hidup sebagai proses pencarian dan penanaman nilai-nilai kebudayaan.

Perubahan teknologi merupakan faktor fundamental dalam evolusi manusia. Inilah pengungkapan yang sederhana bahwa manusia adalah binatang kebudayaan. Sebenarnya dalam dunia binatang berlaku pula penerapan teknologi elementer yang diturunkan lintas generasi. Contoh, berang-berang mendirikan bendungan dan burung membangun sarang. Sementara manusia menciptakan teknologi dan menggunakannya. Teknologi dan pengetahuan ilmiah kerap digunakan manusia untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, menghapus kemiskinan, mencegah pencemaran lingkungan atau membuat tempat hunian menjadi jauh lebih menyenangkan. Inilah sekilas gambaran manusia sebagai binatang teknologi.

Dalam perkembangan, ternyata teknologi ciptaan manusia selain bersifat mandiri (autonomous), juga pertumbuhan teknologi tidak dapat dikontrol masyarakat manusia. Benarkah hidup manusia harus dikendalikan oleh aneka teknologi temuannya? Ini sebuah pertanyaan yang bernada ‘canggung’ di telinga masyarakat industri era ini. Inilah gugatan dilematis. Suka atau tidak suka, berbagai perangkat teknologi racikan manusia adalah pendukung cara dan pola hidup manusia.

Pada simpul penilaian ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa manusia industri hasil besutan kemajuan pilar-pilar teknologi kini dililit aneka masalah yang kompleks dan beragam. Negara maju mendorong percepatan pembangunan di negerinya dengan menyedot sumber-sumber energi dari negara ‘dunia ketiga’. Sedangkan, negara-negara berkembang sibuk melakukan ‘penyesuaian sistem atau perombakan ‘aturan’ demi keseimbangan pertumbuhan ekonomi negerinya. Contoh klasik, negara maju memproduksi pepsi dan coca cola melebihi jumlah penduduk di negara-negara miskin. Sasarannya jelas. Negara ‘dunia ketiga’ menjadi areal pasar yang digarap serius. Dengan kata lain, negara berkembang harus membuat ‘aturan’ yang mendukung arus impor demi konsumen pepsi dan coca cola. Ini sekedar contoh di bidang ekonomi-perdagangan. Belum lagi contoh di bidang politik, hukum, pertahanan dan masih banyak lagi.

Persoalan serius yang dihadapi negara Indonesia adalah julukan sebagai negeri ‘kotak sampah’ penjualan barang bekas maupun tata nilai impor. Kita membeli kapal-kapal bekas untuk memperkuat armada angkatan laut dan udara. Kita pun membeli senjata-senjata bekas untuk latihan perang-perangan TNI. Kita mengadopsi sistem pendidikan luar negeri dengan pola asal comot tanpa mengintegrasikan dengan kultur budaya lokal. Rupanya jauh sebelumnya, kita mengadopsi hukum penjajahan kolonial menjadi pilar-pilar penetapan pasal-pasal KUHAP. Hasilnya, penjajah adalah rezim penguasa, raja adalah kaum berduit dan nasib hidup berjuta-juta rakyat di negeri ini ada dalam genggaman segelintir elite politik.

Lahir sebuah seruan kegelisahan, kalau manusia adalah binatang teknologi mengapa manusia Indonesia belum mandiri membangun teknologinya. Kenapa kita bangga mengimpor teknologi luar negeri. Memang harus diakui bahwa negeri kita masih tertinggal dalam segala bidang kehidupan. Namun ada hal-hal mendasar yang harus terus-menerus diingatkan kepada khalayak bahwa leluhur kita pun sudah memiliki perangkat teknologi tertentu yang kini diabaikan generasi penerusnya. Lihatlah kemegahan Candi Borobudur. Sebuah mosaik kebudayaan yang kini menjadi monumen tanpa nyawa historis.

Leluhur kita tidak mengenal cara merakit bom. Tetapi kini, anak cucu mereka begitu terampil membuat bom untuk menebar teror. Uniknya lagi, kita mengadopsi tata laku bom bunuh diri lengkap dengan perangkat ‘ajaran spiritualnya’. Juga beragam aksi teror yang meresahkan masyarakat kini bergentayangan di setiap daerah. Ini gambaran bahwa segelintir anak bangsa amat lihai menerapkan taktik-taktik teror dari luar negeri. Ada keresahan bila ‘budaya kekerasan dan teror’ mengurat-akar di negeri ini maka Indonesia dapat menjadi ‘daerah Timur Tengahnya’ Asia. Gejala ke arah sana sudah ada bila tidak ditangkal sejak dini. Ini bukan kegelisahan sepele. Ini keprihatinan serius bahwa anak-anak bangsa lemah dalam menyeleksi nilai-nilai budaya dan teknologi impor.

Indonesia dapat kembali bangkit menjadi negeri yang besar bila pemerintah dan rakyatnya kembali menghidupkan teknologi warisan leluhur yang tidak lain adalah nilai-nilai budaya masyarakat nomaden dan agraris yang sangat dekat dengan alam, berjiwa solidaritas dan sangat menjunjung tinggi keharmonisan hidup dengan sesama dan Pencipta. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)

Read More
Beny Uleander

Film Ciptakan Perilaku Positif Masyarakat

3RD Bali International Film Festival 2005

Film merupakan media hiburan, informasi dan pendidikan. Sebagai cabang seni, film secara fungsional bernilai strategis dalam memberikan pengaruh tertentu terhadap perilaku ataupun pembentukan watak manusia. Bila penyajian sebuah hasil karya perfilm tidak mengacu pada akar nilai budaya yang positif akan menimbulkan dampak negatif dalam perilaku masyarakat.

Selain itu, dunia film merupakan pintu masuk pemahaman akan perbedaan kebudayaan, keanegarakan suku dan nilai-nilai budaya setiap suku bangsa. Kesadaran ini yang mendorong Swadeshi Bali Fashion menyelenggarakan 3RD Bali International Film Festival 2005. “Lewat festival ini kami berusaha memutar film-film dari negara lain yang tidak dapat dinonton masyarakat umum. Dengan harapan, lewat film tersebut masyarakat dapat mengenal budaya dan kekayaan cara hidup bangsa-bangsa lain,” tutur AA Ngrh Arya Wedakarma MWS, SE, Ms,I selaku Presiden Mahendratta Bali Holding Organization dalam acara penutupan festival ini Bali Hilton International, Nusa Dua.

Dalam laga penutupan ini, dewan juri pun mengumumkan nominasi kategori film Indonesia. Kategori scenario terbaik diraih film Gie (Miles) mengalahkan Janji Joni (Kalyana Shira), Untuk Rena (Miles), Banyu Biru (Salto), dan Catatan Akhir Sekolah (Rexinema).

Kategori aktor terbaik jatuh pada Rizky Hanggono dalam Ungu Violet (Sinemart) menyingkirkan Nocholas Saputra “Gie”.

Sedangkan artis terbaik ditorehkan Cornelia Agatha dalam Detik Terakhir (Indika). “Saya mendedikasikan penghargaan ini kepada dunia pariwisata Bali agar kembali bangkit,” ujar Cornelia Agatha usai menerima penghargaan didampangi pengacara dan aktor Ruhut Sitompul.

Sementara Detik Terakhir (Indika) dinobatkan sebagai film terbaik. Untuk best director diraih Joko Anwar dalam Janji Joni (Kalyana Shira). Untuk soundract terbaik dipilih Bad Wolves (BDI). Kategori film internasional terbaik diraih Swhaas dari India.

Festival Film Bali Internasional ini menurut Dr Mukhlis Paeni dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menjadi tonggak kebangkitan dan tantangan industri perfilm di Indonesia agar bisa bersaing dengan film-film impor dari luar negeri yang memang unggul dalam kualitas dan sarana. Film Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Sebelumnya, 3RD Bali International Film Festival 2005 menyelenggarakan road show di tiga tempat yaitu Candidasa, Denpasar, Ubud dan Lovina. Acara diisi dengan seminar seputar industri dunia perfilm, diskusi dan pemutaran film. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/ November 2005)

Read More
Beny Uleander

Apa Kata Selebritis Soal Barang Bekas

Mario Lawalata, Baim, Arief To-Fu & Nina Taman.

Dunia artis identik dengan dunia yang glamour dan bertaburan uang. Jangan salah sangka bahwa kalangan selebritis tidak berburu barang bekas. Mereka pun masuk keluar pasar atau lokasi yan menjual barang bekas mulai dari pakaian bekas, perlengkapan rumah tangga, tas bekas, sepatu bekas, alat musik bekas. Prinsip mereka yang penting barang bekas tersebut berkualitas, sesuai selera dan bertahan lama. Berikut simak rekaman pendapat mereka mulai dari Mario Lawallata, Baim, Arief To-Fu, Nina Taman.

Bintang sinetron yang merintis karir sebagai cover boy Majalah Aneka tahun 2004, Mario Santo Michael Lawalata menyodorkan criteria dalam berburu pakaian bekas. “Yang penting layak pakai. Jangan cuma baru dipakai dua sampai tiga hari sudah langsung dibuang. Kita harus cari yang bisa dipakai dua sampai tiga tahun,” ujar anak ke-2 kelahiran Pekanbaru, 3 Mei 1980 dari pasangan Alex Polii dan Reggy Lawalata.

Juga, dalam identifikasi kualitas barang ada solusi praktis. “Untuk tahu suatu barang yang masih bagus atau layak dipakai kita harus membawa teman yang tahu soal kualitas barang itu,” tandas Mario yang kini mulai berinvestasi dengan membangun sebuah rumah di Jakarta dan mengoleksi mobil BMW.

Juga ia memiliki hobi mengoleksi baju basket, sepatu kets, baju kaos. “Kalo saya lihat barangnya keren saya beli. Kadang, saya berbelanja sendiri, sama pacar, bareng sama temen atau keluarga,” ujar pemain sinetron Pura-pura Buta yang mengaku tidak tertarik mengoleksi barang antik.

Sementara penyanyi Baim, yang juga mantan vokalis Ada Band lebih memilih mengoleksi alat musik. “Saya investasi ke alat musik dulu. Soal alat musik bekas untuk sementara saya tidak cari lagi karena ortu dulu pemain band. Jadi alat musik yang tergolong tua sudah ada,” ujar pemilik nama lengkap Ibrahim Imran.

Bukan berarti Baim, ogah berburu barang bekas hanya dirinya lebih selektif dalam hal kualitas barang. “Kalo memang ada alat musik bekas tetap berkualitas ya akan saya beli. Kenapa tidak. Terutama gitar, kalau makin lama makin antik,” ujar pria kelahiran Hongkong, 31 Mei 1975, yan gkini sedang menyelesaikan S2 Magister Manajemen di Trisakti.

Soal gonta-ganti pakaian, menurut Baim hal yang wajar dalam dunia selebiritis. “Tidak mungkin selebritis menggunakan pakaian yang sama dalam setiap penampilannya. Untuk pakaian bekas jangan deh. Sesuatu yang bersentuhan dengan kulit jangan yang bekas. Kalau bisa beli ya yang baru saja,” tandasnya.

Sedangkan vokalis To-Fu Joe Miar Arief mengaku terus teras doyan mengenakan pakaian bekas. Pria kelahiran Bandung, 18 Juni 1975 ini menyukai pakaian casual dan kaos oblong. “Saya masih pakai barang-barang sekend. Yang cocok atau saya syuka akan saya beli. Biasanya di Pasar Senin atau di pasar Bandung. Kadang saya beli bersama teman. Hanya saya tidak periksa keadaan pakaian. Sampai di rumah baru tahu sobek. Ya pakai aja,” tuturnya ringan.

Menyinggung alat elektroik bekas, Arief menyarankan membeli yang baru demi kenyamanan. Soal koleksi barang, Arief berburu barang-barang The Beatles mulai dari CD, fitur-fitur foto, video hingga buku-buku, termasuk bekas sekalipun. “Di Jakarta ada banyak tempat yang jual barang bekas. Saya akhirnya dapat mengumpulkan album The Beatles dari awal sampai akhir termasuk klip-klip yang tak pernah diedarkan. Kemarin waktu ke luar negeri saya dapat barang bekas pringan hitam.The Beatles. I Love The Beatles so much,” ujar mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Seni Musik.

Berburu barang bekas, menurut penyanyi Nina Taman merupakan hal yang lumrah di kalangan artis. Dirinya tak merasa gengsian mendatangi tempat atau pasar penjualan barang bekas. “Saya ingat waktu ke Makasar ada suatu tempat yang namanya Cakar (Cap Karung) yang pajang barang bekas. Nah, di situ saya lihat ada yang masih bagus bahkan hanya kotor saja, tinggal dicuci sudah nampak baru. Masih murah banget. Saya sukanya beli kemeja,” ujar wanita kelahiran Surabaya, 29 Maret 1975 dan isteri dari Erikar Lebang.

Lanjut pemilik berat badan/tinggi 48 kg/168 cm, selama tiga tahun berkeluarga, ia tidak terlalu memikirkan koleksi barang. Dirinya juga menghindari pembelian aksesoris sekend. “Saya lebih memilih membeli yang baru. Waktu ke Bali saya kagum melihat banyak aksesoris yang dijual seperti kalung cincin, anting. Saya sempat beli kalung untuk kenang-kenangan,” ujar puteri pertama B. Tamam Hoesein dan Inuk Tamam

Soal perlengkapan rumah tangga, Nina memburu tirai bekas. “Kebetulan saya bawa teman yang kerja di garmen untuk melihat kualitasnya. Kalo alat elektronik lebih baik beli yang baru. Soal perabot ya kami diberi orangtua sewaktu baru menikah,” kenang wanita yang jarang mengenakan gaun meski ke pesta sekalipun. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)

Read More
Beny Uleander

Extrem Tour Bukit Hexon 2005

Menerabas Tanjakan Terjal Menuju Taman Otomotif

Menantang maut, menerjang bahaya sekaligus menikmati keasyikan menerabas jalan penuh tanjakan terjal di tengah guyuran hujan bernada romantik di akhir bulan November. Itulah sepenggal episode pengalaman perdana yang dirintis I Wayan Dhiana (25), anggota Tim Mekanik Bengkel Pak Oles yang mengemudi Hard Top Landcruiser besutan tahun 1982. "Wah, benar-benar asyik. Saya mau ikut lagi kalau ada turing mendatang. Khan, ini pengalaman pertama saya bawa hard top dalam suasana ekstrim off-road," tandasnya bersemangat.

Memang gairah Wayan Dhiana setali tiga uang dengan gelora turing otomotif yang berkecamuk di dada 20 anggota Tim Extrem Tour Bukit Hexon 2005. Rombongan yang dipimpin langsung Pak Oles menumpang lima kendaraan menjajal medan penuh tanjakan dan tikungan maut menuju Bukit Hexon, terletak 70 km sebelah selatan Kota Denpasar. Tepatnya di Dusun Bua Banjah, Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng.

Pukul 10.30 Wita, rombongan yang diikuti Tim Mekanik Bengkel Pak Oles, Kepala Bagian Umum, Pemred & Konsultan Design Montorku, Koordinator Sekuriti, 3 reporter dan 1 fotografer Montorku berangkat dari Pak Oles Centre menuju Buleleng. Laju kendaraan 60 km/jam bertujuan, mengetahui kinerja HEXON, Vitamin Oli Mesin dalam kondisi tanjakan ekstrim. Pada pukul 12.30, rombongan tur dari Denpasar bertemu rombongan dari Pabrik EM Desa Bengkel, Banyuatis yang dipandu Nyoman Suka dan Ketut Bimbo di Bedugul.

Sepuluh menit berselang, rombongan layaknya tim ekspedisi mulai dihadang suasana setara extrim off-road. Guyuran hujan menambah licin jalan tanjakan berbatu yang dikerjakan secara swadaya oleh warga Lobong, Dusun Batu Dinding, Desa Pegadungan, Sukasada. Sisi kiri dan kanan jalan dihiasi lereng-lereng terjal. Pengemudi yang tak bernyali dipastikan akan shock atau kurang berhati-hati akan menjual nyawa di tebing yang curam.

Acungan jempol layak diberikan kepada Tim Extrem Tour Bukit Hexon ini. Lima mobil: Daihatsu Rocky disetir Kadek Yuliarthana, Grand Cheroke dikemudi Putu Serken, CJ 7 dipelanai Yunus Sugianto, Kijang ditunggang Ketut Bimbo, TS 120 dituntun Putu Budiasa dan Landcruiser dipacu Wayan Dhiana merangkak menantang tanjakan terjal. Sebagian anggota rombongan melompat keluar di tengah hujan deras untuk mendorong mobil maupun memberi aba-aba. Wajah ceria dan pekik gembira seakan menjadi petir kecil yang menemani rintikan air dari langit.

Pukul 13.30, rombongan menjejakkan kaki di Kampung Lobong dan disambut antusias warga setempat. Setelah makan siang bersama, rombongan tur beralih profesi menjadi tim ekspedisi menyusuri perbukitan Hexon seluas 8 Ha. Jalan setapak menuju perbukitan menyuguhkan pemandangan atraktif. Meski ketika menuruni punggung bukit yang terjal, beberapa anggota eksepedisi tergelincir jatuh bangun.

Sekitar 500 m sebelum Hexon Hill, ada 40 pekerja yang sedang membelah dinding tebing dan meratakan jalan masa depan bagi penggemar grasstrack. Pasalnya, menurut Pak Oles, Bukit Hexon akan disulap menjadi garden track. Ya, inilah sebuah terobosan baru di Pulau Dewata yang menghadirkan taman otomotif tanpa master plan yang bombastis di mulut tetapi mangkrak di lapangan. "Selain itu, bisa juga ditanami strawbery dan pohon murbei, termasuk bahan baku pembuatan Hexon," tandasnya. Tepat pukul 15.15, rombongan tur kembali ke Denpasar membawa segudang impian untuk berpetualangan lagi di Bukit Hexon. (BENNY ULEANDER)

Read More

Selasa, November 29, 2005

Beny Uleander

Menguak Sisi-sisi Pergulatan Peramu Berita

Seorang selebritis, tokoh politik, aktivis LSM hingga seniman menjadi terkenal baik tampang wajah maupun aktivitasnya berkat pemberitaan yang diramu wartawan. Bila kehidupan pribadi tokoh publik penuh ulah dan skandal ditulis wartawan, maka karir mereka pun terjungkal dan popularitas merosot. Terlontar sebuah pertanyaan bernada kegelisahan actual. Siapakah yang akan menulis dan menceritakan sisi-sisi suka dan duka para pekerja pers?

Mereka menulis nasib malang kaum buruh yang menerima upah di bawah standar UMR. Mereka mengisahkan duka para pahlawan tanpa tanda jasa –guru- yang hidup sebulan dengan gaji sehari. Mereka mempersoalkan kontrak si artis bernilai ratusan juta yang belum dibayar sebuah rumah produksi. Sedangkan si wartawan yang gaji bulanannya dicicil mendiamkannya dengan hati remuk redam. Padahal ia berpetualang ke sana ke mari memburu sumber-sumber berita. Ke mana ia harus mengadu. Paling-paling teriak frustrasi di meja pemred atau ruang manajemen. Setelah itu dipecat dan kehilangan pekerjaan. Kalau mau ada kerja paling banter jadi wartawan bodres, gadungan, WTS alias wartawan tanpa surat kabar atau CNN alias cuma nanya-nanya. Suaranya pun hilang diserap dinding-dinding ruang. Lengang dan sepi. Itulah balada hidup wartawan.

Menarik menyimak ringkasan laporan Survei Pendapat Wartawan Atas Isu-isu Media dan Jurnalisme yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Kongres AJI di Bogor, 21-26 November 2005. Wartawan selalu kalah berhadapan dengan kekuatan pemodal. Terpatri sebuah pertanyaan, kalau begitu, hanya orang “bodohlah” yang gigih di jalur profesi. Tapi…hidup adalah panggilan. Suara nurani tidak gelisah menggurat kebenaran, keindahan dan kebaikan lewat ujung pena! (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)

Read More

Jumat, November 25, 2005

Beny Uleander

50 Artis ‘Tebar Surat Cinta Buat Teroris

C U In Bali

Baliku kembali berduka karena ulah teroris. Tetapi Baliku menangisi sikap kekanak-kenakan segelintir anak bangsa yang lupa akan gairah dan semangat juang revolusi para leluhur. Baliku berduka dalam rona keprihatinan melihat sekelompok anak bangsa menjadi antek-antek Dr Azahari dan Noordin M Top yang tidak hidup dalam kultur bertanah air satu, satu bahasa dan satu bangsa.

Dalam pusaran kesadaran ini, 50 artis papan atas dan penyanyi beken kembali menjejak kaki mereka di Tanah Bali meriahkan acara amal Bali Recovery dalam tiga gelombang atas sponsor A Mild Live Production pada tanggal 25 November, 1 Desember dan 9 Desember.

Penampilan perdana 15 artis pada Jumat malam (25/11) di Kamasutra, Kuta, Denpasar seakan menebar surat cinta kepada para teroris dalam laga pagelaran musik, fashion show dan lelang amal. Betapa tidak. Aksi goyang panggung dan fashion show mereka mencitrakan kebanggaan sebagai anak-anak Indonesia yang berprestasi dan kreatif. Wajar bila kehadiran mereka menyedot dan memagnet remaja muda hingga orangtua yang memadati hall Kamasutra sejak pukul 22.00 Wita.

Acara yang dimulai pukul 23.30 Wita diawali penampilan personil Warna dengan mendendangkan lagu favoritnya, disusul Firman IDOL, Nina Tamam yang membuat panas penonton dengan tembang Heaven dan Ayo, Ayo, Ayo, lalu Baim, Sutha Afi, To-Fu serta Katon Bagaskara.

Penonton kian histeris ketika para artis berlenggak-lenggok seperti di atas cat walk dalam sesi fashion show yang menampilkan Mario Lawalata, Reza Bukan, Ira Wibowo, Dewi Rezer, Rianti Rhiannon Cartwright, dan lainnya. Mereka mengenakan busana rancangan Ali Kharisma, Putu Aliki dan Ananda & Brunel. Sebagai lakon pamungkas tampil To-Fu, Desta & Vincent Club 80’S dan T-Five yang menggairahkan acara amal ini hingga pukul 01.30 dini hari. Menurut Joy Kamasutra, acara amal ini terkait dengan penggalangan dana yang akan dihibahkan kepada para korban bom Bali 2 melalui Bali Crisis Centre (BCC).

Kemeriahan acara ini mau menunjukkan kepada wisatawan lokal dan mancanegara bahwa Bali tetaplah sebuah destinasi pariwisata dunia yang aman. Setidaknya, kehadiran para artis dan penyanyi papan atas menegaskan bahwa anak-anak Indonesia tetap bersatu dalam seni dan budaya. Wajar bila malam itu, hadir Ketua DPD PHRI Bali dan juga tokoh Puri Agung Ubud Cokorda Gde Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, Ketua IMI Bali dr Bagus Darmayasa dan penyair A Slamet Widodo.

Sebelumnya, Adhe Jane Marie Lumy dari BCC menegaskan pihaknya akan menggulirkan dana amal lewat lembaga tertentu . “Dana yang terkumpulkan akan disalurkan untuk kepentingan para korban bom seperti rehabilitasi, pendidikan dan keperluan lainnya,” ujarnya di sela konferensi pers, Selasa (23/11) di Kamasutra. (Beny Uleander/KPO EDISI 95/Desember 2005)

Read More
Beny Uleander

Bisnis Barang Bekas Berkualitas

Langkah Ekonomis Bernilai Ekologis
Uang adalah raja kehidupan. Beragam aktivitas manusia yang berdetak 24 jam membutuhkan uang. Namun dari mana dan bagaimana menghasilkan uang yang halal merupakan pertanyaan menarik di era krisis ekonomi ini. Yang pasti, untuk mencari duit, seseorang/lembaga menekuni sebuah bidang usaha, menciptakan system, melahirkan jaringan pemasaran barang/jasa dan menjaga kontinuitas produk.

Ide kreatif layak disematkan kepada para pelaku bisnis barang bekas. Bukannya digudangkan atau dikotaksampahkan, barang bekas dijual kembali setelah dibersihkan, diolah atau diperbaiki kerusakannya. Inilah langkah ekonomis bernilai ekologis, terutama bagi kebersihan lingkungan. Salah satunya dilakoni Putra Widiantara, SE (33), Manajer B3 (Barang Bekas Berkualitas) yang terletak di Jl P Maluku II/IC, Denpasar. Sesuai namanya, Anda dapat menemukan barang bekas tetapi masih bisa bersaing dengan produk baru. Inilah kejelian Widiantara menangkap peluang usaha sekaligus memburu rupiah.

Usaha ini dimulai 1 November 2004 dengan fasilitas gedung 3 lantai. Langkah awal adalah menerima penitipan barang bekas yang tidak dibutuhkan lagi pemiliknya. Barang bekas yang masih bisa dipakai meliputi elektronik, furniture, meubel, handicraft, alat-alat musik, olahraga, rumah tangga, kantor, bengkel, bangunan, aksesoris mobil & motor, jam, busana, sepatu helm, tustel, dll.

“Kami mengutamakan barang bekas yang masih berkualitas. Tentunya, kami kenakan biaya penitipan sebesar 10 persen. Sebelumnya, barang tersebut kami periksa kondisinya apakah masih layak dipakai atau tidak. Setelah itu, kita tentukan harganya,” ungkapnya.

Barang bekas yang paling laris adalah meubel dan furniture karena kualitasnya dapat dilihat langsung konsumen ketimbang alat elektronik yang dijual tanpa garansi. Diakuinya, ada harapan agar bisnis ini terus berkembang dan ada pembukaan unit-unit baru di Kota Denpasar dan sekitarnya.

Bisnis barang bekas sebagai mata pencarian juga dilakoni Sukri Abu Susanto asal Mojokerto yang sudah sepuluh tahun menjual sepatu bekas di Pasar Kreneng,Denpasar. “Saya dari dulu jual sepatu bekas. Untungnya memang besar hanya saya tidak bisa menyimpan uang,” akunya ketika diajak ngobrol suasana kehidupan harian para pedagang barang bekas di Pasar Kreneng.

Ia menerima sepatu bekas dari pemilik yang tidak membutuhkannya lagi. Juga Sukri harus memburu dari barang rongsokan yang dikumpulkan pemulung. “Sepatu yang sudah rusak, saya perbaiki. Kadang ganti alasnya atau dijahit bagian yang robek. Meski bekas, orang yang beli masih lihat merknya seperti Pacalolo, Pinoti, Piero yang paling laris,” ujar pria kelahiran 16 September 1970.

Penghasilannya diterimanya amat mencukupi untuk membayar kos dan makan minum. Itulah sebabnya, papar Sukri, dirinya merasa betah dengan penjualan sepatu bekas. Selain laris, di antara para pedagang barang bekas di Pasar Kreneng telah terjalin rasa persaudaraan yang demikian kental. “Ya kami di sini sudah seperti kakak dan adik. Semua sudah mengerti sifat masing-masing,” ungkap pria yang mengaku berstatus duda lajang. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)

Read More

Kamis, November 24, 2005

Beny Uleander

Jualan Baju Rombeng, Bangun Dua Rumah

Profil Ni Putu Oka Sudiarti
“Kalo tiga ribu, saya ambil bu,” tawar seorang wanita paruh payah sambil melihat-lihat pakaian bekas yang tersebar acak di atas trotoar sebelah barat Pasar Kreneng. Sementara, wanita penjaja pakaian bekas yang duduk beralas koran dengan cekatan langsung membungkus pakaian yang ditawarkan tadi. Itulah adegan yang terekam pada Kamis siang (24/11), pukul 10.45 Wita.

Sebagian rambut sudah memutih menghiasi kepala wanita penjaja baju loakan itu. Umurnya 58 tahun. Raut wajahnya mengekspresikan keseriusan ketika diajak bicara soal pekerjaan yang dilakoninya. “Ah saya malu kalau masuk koran. Kenapa tidak orang lain saja,” tolaknya ketika diwawancarai.

Kembali, wanita tua ini sibuk melayani para calon pembeli. Kadang ia mengeluarkan kata-kata umpatan bernada gurau kepada sesama pedagang barang loakan di sekitarnya yang kerap berusaha ‘menggugurkan’ rona keseriusan di wajah wanita tua itu. Meski alot, akhirnya pemilik nama Ni Putu Oka Sudiarti ini bersedia diajak ngobrol.

“Saya sudah sepuluh tahun berjualan baju bekas di sini. Saya mulai jualan sekaj jam tujuh sampai jam sebelas siang,” ujarnya tetap dengan ekspresi serius.

Bu Oka demikian nama sapaannya, memiliki tiga orang anak. Sementara suaminya, YS Abdullah asal Minang, sudah lama meninggal. Sebagai tiang penopang keluarga,Bu Oka pun memutuskan untuk berjualan baju bekas. “Kadang saya membeli dan menjual satu ball (sekarung) pakaian bekas. Sehari bisa laku sampai Rp 300 ribu,” ujarnya.

Untuk penjualan harian, Bu Oka membeli pakaian bekas dari ‘agen’ per plastik kresek ukuran besar Rp 60 ribu. Bisa untung Rp 20 ribu. Uang itu dikumpulkan untuk sewa kos per tahun Rp 5 juta. “Kalo untuk makan saya sangat hemat.Pagi masak nasi dicampur ubi ketela,” ceritera wanita yang tetap mandiri tanpa mau hidup bersama ketiga anaknya.

Ditanya soal profesi yang digelutinya, ujar Bu Oka, membawa berkah tersendiri. “Saya dapat membangun dua rumah Mas. Satu di Perum Damai Indah Blok F No 7 dan satunya lagi di P Misol Gg V No 9 yang ditempati seorang anak. Mereka juga sudah mulai membangun usaha sendiri. Saya beri modal dan kredit sepeda motor Supra Fit untuk anak dengan cicilan Rp 580 ribu per bulan,” tambahnya.

Sayang rumahnya di Perum Damai Indah sudah dijual untuk membesarkan ketiga anaknya. Bu Oka tetap ulet. Bangun jam lima pagi untuk mempersiapkan diri sebelum ke pasar. Ia mengaku berjualan di trotoar lebih praktis. Kapan saja barang bisa digelar dan dikumpulkan dengan cepat.

Meski begitu, Bu Oka bangga bisa memperoleh kredit usaha mikro dari BRI Unit Kreneng sebesar Rp 3 juta tanpa agunan. “Paling-paling, mereka (pihak bank –Red) meminta saya untuk mengurus surat keterangan usaha dari Kelian Banjar dan camat,” ujarnya.

Bu Oka dalam nada optimis menyatakan akan terus berjualan pakaian rombengan. Inilah pekerjaan yang bisa dilakukannnya. Selamat berjuang. (Beny Uleander/KPO/EDISI 94/November 2005)

Read More

Selasa, November 15, 2005

Beny Uleander

Pak Oles Hadiri Pertemuan Saudagar Bugis

Selaku pengusaha jamu dan obat-obatan tradisional asal Bali, Dr Ir GN Wididana, M.Agr bersama enam rekan pengusaha Pulau Dewata menghadiri Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) VII, di Hotel Sahid Makassar, 11-13 November 2005. Pertemuan ini mampu mengumpulkan 1.000 saudagar Bugis perantau dalam dan luar negeri yang terpencar sporadis bersama tamu undangan dari Malaysia, Singapura, Cina dan India.

Menurut Wididana yang diakrabi Pak Oles, pertemuan tersebut selain menjadi ajang silahturahmi para pengusaha Bugis juga moment bertukar informasi sekaligus membangun jaringan serta kemungkinan kerja sama di antara para pengusaha. Wapres HM Jusuf Kalla hadir membuka BSPM VII didampangi 7 menteri dari latar belakang pengusaha seperti Menko Perekonomian Abdul Rizal Bakrie serta Gubernur Sulsel HM Amin Syam. Hadir juga tamu istimewa Wakil Perdana Menteri Malaysia Yang Mulia Dato’ Sri Najib Haji Abdul Razak yang berdarah Bugis generasi ke-11 Latatta Ambarala Daeng Manangsang.

“Saya kagum dengan jiwa saudagar dalam diri orang Bugis, Nenek moyang mereka sudah mempunyai budaya merantau dan melaut dengan prinsip sekali layar terkembang pantang untuk kembali,” ujar pria yang gemar berdiskusi soal ekonomi dan politik.

Satu hal yang ditimbanya, ungkap Pak Oles, pengertian saudagar selama ini direduksi pada pemahaman orang yang berusaha meraih untung sekaligus siap untuk rugi. Padahal, kata saudagar dalam bahasa Sansekerta berarti orang yang banyak akal. Tentu saja, seorang saudagar harus cermat membaca peluang usaha, cerdik mengelola peluang dan pandai membangun relasi atau jaringan bisnis. Ketiga hal inilah yang dimiliki para saudagar Bugis. Mereka sukss sebagai pengusaha karena berani, ulet dan siap bekerja keras di tempat mana saja. Inilah salah satu semangat sebuah suku bangsa yang layak dipetik oleh suku bangsa lainnya di Bumi Pertiwi.

Pada PSBM VII diadakan penandatanganan MoU antara saudagar Bugis Makassar dengan pengusaha Malaysia, saudagar Bugis Makassar dengan Cina dan pengusaha Afrika dengan saudagar Bugis Makassar. Dari aspek ini, menurut Pak Oles ada kesempatan di masa mendatang bagi pengusaha Bali untuk membangun kerja sama dengan saudagar Bugis Makassar baik di dalam maupun di luar negeri. (Beny Uleander)

Read More