Selasa, Juli 26, 2005

Beny Uleander

Mengais Peluang Pasar Di Tengah Iklim Kompetitif

Forum sarasehan yang digelar PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Bali, Minggu (26/7), di Hotel Yani Denpasar, meninggalkan banyak pesan yang perlu dicatat sebagai sejarah perusahaan jamu terbesar di Bali dan nomor 5 di Indonesia. Bagaimana sebuah perusahaan lokal terus memantapkan jati diri dengan mengevaluasi kehadirannya di tengah masyarakat.

Pertemuan dihadiri Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, Dr Ir GN Wididana, MAgr, Direktur Ir Agus Urson, Manajer Keuangan Ayu Lidyawati, Kacab Bali Ir Gede Ginarka , para kepala unit se Bali, Divisi Humas, Radio, Jasa Usaha Sehat (JUS), IPSA dan Staf Produksi dan Pemasaran Pupuk Bokashi Bali. Maju mundurnya sebuah perusahaan tidak terletak pada kekuatan modal dan investasi aset tetapi lebih pada kekuatan sumber daya manusia. Inilah inti eksistensi PT Karya Pak Oles Tokcer yang mulai menancapkan kakinya di dunia produksi madu dan obat-obatan berbasis herbal sejak tahun 1997 lalu.

Tak dipungkiri, ada kebanggaan yang diusung saat ini yakni Ramuan Pak Oles sudah dikenal luas masyarakat Bali. Selain itu, kantor cabang sudah berdiri di 5 propinsi selain Bali yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan. Namun apalah arti kebesaran nama perusahaan bila tidak diikuti dengan evaluasi kualitas produk dan pembenahan SIM T (sistem, informasi, manajemen dan teknologi).

Berdasarkan laporan Manajer Produksi, Ir Ruslie Hanafie, Minyak Oles Bokashi masih menjadi primadona Ramuan Pak Oles yang paling laris diikuti kelompok madu-maduan. Karena itu, Koordinator Salesman Bali, Wayan Wardana berharap kualitas produk perlu didukung dengan sistem kontrol untuk mendukung citra Ramuan Pak Oles yang bermutu. Selama ini kualitas kontrol berkisar pada bahan baku, standar bahan dan pencampuran bahan. Wardana pun mewanti-wanti agar nama besar PT Karya Pak Oles di Bali tak membuat semua divisi terlena tanpa melakukan evaluasi berkala.

Karena itulah, Kepala Unit Bali II, Komang Pariatha memberi gambaran bahwa pasar potensial Ramuan Pak Oles tetap ada di Bali. Diusulkan perlu dilakukan pola kontrol produk pasca produksi dan purna produksi. Dengan begitu, ada kesatuan integral mata rantai antara produksi dan pemasaran. Kesatuan ini diharapkan memicu semangat SPG sebagai ujung tombak pemasaran untuk meningkatkan penjualan Ramuan Pak Oles. Memang diakui, terjadi iklim kompetisi yang tinggi antara unit dan team SPG di Bali. Namun, kondisi ini bernilai positif bagi tim pemasaran untuk membangun komitmen.

Pariatha juga menggambarkan 3 tantangan pemasaran yang ada di Bali. Pertama, bagaimana menjaga komposisi berimbang antara jumlah SPG dan jumlah penduduk yang ada di Bali. Penduduk Bali sekitar 3 juta orang idealnya harus dilayani 200-300 SPG. Kedua, percepatan pertumbuhan harus diikuti dengan pembentukan 3-4 team leader baru di Unit Hayam Wuruk dan Letda Kajeng. Ketiga, kesulitan rekruting SPG bisa diatasi dengan bekerjasama bersama Disnaker Bali untuk memanfaatkan bursa angkatan kerja. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More

Sabtu, Juli 23, 2005

Beny Uleander

Radio Bokashi Pasti Tokcer Gitu Looohhh...

Dalam percakapan sehari-hari, kita kerap menggunakan frase atau ungkapan tertentu yang kaya makna. Bila dicermati, banyak kata-kata/frase yang bukan bahasa Indonesia asli dan sulit ditelusuri asal-usulnya serta maksud dan tujuan dari penggunaannya. Namun, penyebarannya sangat cepat dan langsung dimengerti oleh orang yang bersangkutan. Apabila dimintai penjelasan tentang hal ini, banyak orang yang kerepotan menerangkannya secara gamblang dan tuntas. Tak heran, khalayak menyebut bahasa ini dengan sebutan: bahasa prokem atau bahasa gaul.

Kebetulan bahasa gaul Pasti Tokcer ‘diaduk-aduk’ dalam rapat manajemen PT Karya Pak Oles Tokcer bersama Divisi Humas/Pak Oles Centre dan Radio Pak Oles FM, di Inna Hotel, Jl Veteran Denpasar. Pasalnya, kata Pasti Tokcer selalu mengudara dan kerap tertulis dalam pengakuan konsumen Ramuan Pak Oles. Untuk wilayah Bali, kata Pasti Tokcer sudah melekat dan menjadi citra ‘bahasa iklan’ khasiat alami Produk Ramuan Pak Oles berbasis herbal.

Kata Pasti Tokcer sendiri sudah dipatenkan oleh Dr Ir GN Wididana, M.Agr atau Pak Oles di samping produk Ramuan Pak Oles. Karena, kata Pak Oles, ketika Pasti Tokcer diungkapkan, masyarakat langsung tahu bahwa itu terkait Ramuan Pak Oles. “Saat ini kata Pasti Tokcer sudah tercitra di benak masyarakat Bali,” ujar Pak Oles.

Kata-kata ‘gaul’ masuk kelompok frase/ungkapan yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Ada kalanya, frase itu kurang jelas makna dan tujuannya. Biasanya hanya sebagai celaan atau penyemarak suasana. Kata-kata dalam kategori ini banyak yang berasal dari kata dalam lirik lagu, jingle iklan, ataupun dialog dalam iklan/televisi, yang akhirnya tersebar luas dan dipakai banyak orang. Contoh: kasian deh loooooo, Gigi lo gambreng, oke deh kaka, plis dong ah, iya lah yaw atau adee apeeee ??? Terakhir frase yang lagi ‘naik daun’ adalah kata Gitu Looohhh… yang digunakan secara luas seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Di persimpangan ini, kita bisa menelaah makna dan perbedaan kata Pasti Tokcer dan Gitu Looohhh (GL). Keduanya merupakan frase yang dikenal publik namun lahir dari latar belakang sejarah yang berbeda.

Konon, kata GL pertama kali diucapkan Gina Natasha, remaja SMP di kawasan Kebayoran, Jakarta. Gina memiliki seorang saudara bernama Ronny Baskara, seorang pekerja event organizer. Kebetulan Ronny punya teman sekantor bernama Siska Utami. Suatu saat Siska bertandang ke rumah Ronny. Kala itu Siska diterima Gina. Siska bertanya, “Kakakmu mana?” Si Gina yang berada di kamar menjawab, “Gitu Loooohhh... Ketika ditanya lagi oleh Siska, “Eh Gina kelas berapa?” Gina pun menjawab, “Kelas dua SMP Gitu looohhh... Sejurus kemudian, Siska kembali bertanya, “Kalau yang benerin genteng bocor siapa sih? Gina lagi-lagi menjawab, “Siapa aja ..Gitu Looohhh.” Selanjutnya si Gina menjawab dengan kata-kata Gitu Looohh... Esoknya, Siska di kantornya ikut-ikutan latah mengucapkan kata Gitu Loooohhh...di setiap akhir pembicaraan.

Kata Gitu Looohhh memang menjadi penyemarak suasana dan suatu ketika akan redup ditelan frase baru yang lebih kocak dan gaul. Sedangkan kata Pasti Tokcer adalah frase yang menunjuk pada kualitas produk Ramuan Pak Oles, diudarakan Radio Pak Oles FM dan disebarkan dalam Koran Pak Oles maupun cover MONTORKU secara berkesinambungan. Selama Ramuan Pak Oles terus diproduksi dan diterima masyarakat maka sejauh itu pula Kata Pasti Tokcer terus dipopulerkan di kalangan olesmania.

Kini manajemen PT Karya Pak Oles Tokcer kembali menggagas terbentuknya stasiun radio baru di wilayah Bali yang diberi nama Radio Dunia Bokashi Raya. Rencanya, stasiun baru ini akan berdiri di Gumi Serombotan, Klungkung. Dengan harapan, masyarakat di Bali akan terus ingat bahwa aneka produk Ramuan Pak Oles di bidang kesehatan, pertanian dan otomotif hadir di tengah mereka. Tak ada salahnya –meski masih dalam tahap rencana- Radio Bokashi Pasti Tokcer gitu looohhh… Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi? (Beny Uleander)

Read More

Jumat, Juli 15, 2005

Beny Uleander

Evakuasi Tradisi

Dunia semakin tua. Demikian lontaran kegelisahan penduduk dunia akhir abad 20 silam. Tahun 2000 sempat diklaim sebagai tahun penutup kisah hidup manusia. Apalagi banyak ramalan tokoh visioner yang melihat perguliran sejarah berhenti di akhir milenium II. Ternyata, paradigma akhir jaman yang diyakini institusi agama dan juga beberapa sekte menjadi ruang persemaian tradisi versus modernitas, pertarungan kebijaksanaan dan keahlian serta terkini tarik ulur globalisasi dan evakuasi tradisi.

Semula gagasan dunia semakin tua ketika melihat alam sebagai ibu kehidupan tidak ramah lagi membentengi manusia dari bencana dan prahara semesta. Adanya pemanasan global akibat rentetan efek rumah kaca, perubahan iklim yang sulit diramalkan diikuti hutan di muka bumi yang kian berkurang ratusan hektar setiap tahun dan rahim bumi yang kian keropos digaruk tangan-tangan serakah. Para pakar lingkungan membuat prediksi bakal ada persatuan manusia antar bangsa dengan satu sikap, nasion-global, mempertahankan bumi dari kehancuran dan penyakit. Sungguh sebuah estimasi yang menakutkan –kalau benar terjadi- sekaligus suatu pengakuan bahwa manusia adalah entitas sejarah, subyek peradaban dan kumpulan daging hidup yang berakhlak.

Ketidaksiapan menuju akhir jaman adalah ‘tahun rahmat’ manusia komunis-sosialis, liberal-kapitalis atau ekstrimis kanan-kiri dan konservatif-moderat untuk kembali memetakan batas-batas kemampuan intelek-psikisnya, cakupan pola interaksi yang mengglobal dan penggalian identitas kultural-politis individu sebagai manusia, masyarakat dan warga negara.

Lantas tradisi-tradisi besar yang dikawal para penjaga agama rasional menjerit histeris ketika terjadi pergolakan soal pengawasan atas hidup dan perilaku manusia. Tradisi besar yang membangun fondasi pada rasionalisasi agama, sebuah proses yang bergantung eksistensi teks-teks skriptural.

Di persimpangan ini, masyarakat dunia harus jeli melihat dan menempatkan secara proporsional gerakan kaum homoseks, gay, waria dan lesbian dalam mencari identitas politik dalam tata sosial.

Selama ini, sisi humanis kaum waria selaku golongan minoritas jauh dari sentuhan ‘tradisi kasih sayang’ masyarakat lokal dan juga sentuhan jurnalisme empati. Sepak terjang mereka dibredel dengan teks-teks wahyu yang sudah diintepretasi masyarakat feodal dan patrialkal. Lalu, waria manusia yang tercipta dengan keunikan dilihat sebagai musuh atau manusia ganjil berperilaku sakit dari kacamata pria dan wanita.

Pernyataan batin Henry Wadsworth layak dijadikan pijakan melihat waria sebagai insan terberi yang lahir atas kehendak penguasa kehidupan manusia. “Jika kita dapat membaca kisah rahasia tentang musuh-musuh kita, kita seharusnya menemukan cukup banyak kesedihan dan penderitaan dalam kehidupan setiap orang untuk menghapus segala permusuhan,” ungkap Henry Wadsworth.

Saatnya, manusia sebagai individu menikmati anugerah kehidupan yang gratis ini dengan segala bakat dan kemungkinan-kemungkinan terjauh pengembangan diri yang dapat diaktualisir individu. Adalah suatu visi humanis bila masyarakat dan negara mengembangkan ketrampilan lunak di era bertebarnya beragama perangkat lunak elektronik.

Ketrampilan lunak mengacu pada teknik-teknik yang berhubungan dengan pengelolaan diri (intra-personal skills), ketrampilan dalam pengelolaan orang lain (inter-personal skills) dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya atau lingkungan di luar dirinya (extra-personal skills). Ketiga komponen ketrampilan lunak tersebut, menurut, Aribowo Prijosaksono (Bisnis Maya Laba Nyata, 2002), disebuat sebagai Skills of Life Trilogy.

Memang tidak mudah menerjemahkan secara praktis ketrampilan lunak dalam jelajah pencarian pengakuan eksistensi kaum waria, gay dan lesbian di ranah agama dan komunitas sosial. Meski keinginan kelompok tengah (baca: bukan pria atau wanita) untuk berkeluarga mengguncang tradisi-tradisi besar tidak berarti kiprah mereka di sektor publik dikutuk dan dianggap najis. Norma moral keagamaan tetap kukuh mempertahankan institusi perkawinan sebagai persatuan pria dan wanita untuk melahirkan keturunan. Bukan berarti, kaum waria terus ditindas sebagai makhluk kutukan Tuhan. Mereka perlu dicintai dan diberi kebebasan berekspresi sebagai manusia.

Karena itu, kaum waria dan lesbi harus memulai pencarian jati diri dengan mengembangkan tiga ketrampilan lunak di atas. Intra-personal skills dimaknai sebagai memberdayakan diri sebagai manusia yang bermartabat, pola pikir (mindset), sikap (attitude), karakter dan kepribadian, kemampuan untuk belajar (skill of learning), manajemen waktu (time management), ketrampilan mendayagunakan pikiran (mind management), mengelola emosi (emotion management), self marketing dan kecerdasan spritual.

Inilah kunci membuka diri bagi komunitas social dan langkah elegan mengevakuasi tradisi sepihak yang merantai identitas waria. Selama kaum waria dan lesbi berjalan sendiri tanpa bersatu di atas ‘panti waria’ maka gema perjuangan mereka akan hilang ditelan kesunyian jagat semesta nan tandus. Bukan tidak mungkin, waria dan kaumnya akan menjadi manusia yang membawa sakit hati hingga ke liang kubur.

“Ini di atas segalanya: kepada diri sendiri engkau harus jujur, dan begitu pula, seperti siang berganti malam, engkau tidak boleh bersikap tidak jujur kepada siapapun.” (Shakespeare-Hamlet). Semoga. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/15 Juli 2005)

Read More

Selasa, Juli 12, 2005

Beny Uleander

‘’Saya Ingin Seperti Pasangan lain’’

Avi (Waria, Model Video Klip Naif)

Rencana pernikahan Avi, model video klip Naif, dengan seorang pria bernama Paul Jureen (30) asal Belanda cukup menghebohkan. Pasalnya, mereka dari dua satu jenis kelamin yang sama. Namun banyak kalangan menganggap, bencong yang memiliki nama asli Joko Wiryanto Suwito hanya sebuah sensasi.
Dikalangan selebriti, sensasi merupakan sesuatu yang penting. Semakin sensasional, semakin dikenal. Bukankah nama Avi melambung di belentara dunia selebriti berkat aksi sensasionalnya? Kalau ditelaah ada kemungkinan seperti itu. Bagaimana dengan rencana perkawinannya yang jelas-jelas terlarang berdasarkan hukum di Indonesia dan agama?. Berikut ini petikan wawancara dalam jumpa pers yang digelar di Cafe Safari, Kebayoran Baru, beberapa waktu lalu.

Berapa lama Anda mengenal lelaki Indo bernama Paul Jureen asal Belanda itu?

Saya memang sudah berhubungan lama dengan Paul selama kurang lebih 1.5 tahun. Awalnya kami dipertemukan di kantor pengacara Avi, Nazarudin Lubis SH, di kawasan Kebayoran Baru.

Bisa diceritakan awal-awal kalian berpacaran?

Pada awal tahun 2004, saya datang ke kantor pengacara saya, Nazaruddin Lubis. Sedangkan Paul Jureen juga datang ke kantor Nazarudin yang kebetulan ada urusan bisnis dengan pengacara tersebut.

Kemudian saya diperkenalkan dan selanjutnya kami sering emngadkan pertemuan dengan makan siang di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan. Sejak pertemuan itu, Saya dan Paul langsung akrab. karena Paul tipe pria yang enak di ajak nggobrol bahkan menjadi teman curhat yang mengasikkan. Kami pun lantas sering kontak melalui telepon, berkirim SMS ataupun perjanjian untuk bertemu. Dua bulan kita berdekatan, akhirnya kita jadian. Saya duluan lho yang menyatakan cinta kepada Paul. Eh ternyata Paul tidak menolak. dia juga setuju, akhirnya kita pacaran sampai sekarang.

Bagaimana awal-awal pacaran?

Awal-awal pacaran dengan Paul ya sama dengan pasangan lain, selayaknya seoasang kekasih yang baru jadian. Sering jalan-jalan berdua, shopping, nonton film hingga malam berdua. Pokoknya senang dan berbahaga deh.

Siapa yang mula-mula menyatakan cinta duluan?

Saya yang pertama kali mengajak Paul untuk bertunangan. Untuk mengungkapkan keinginannya, saya sempat merasa gengsi jangan-jangan Paul tidak mau membina hubungannya secara serius.’Pertamanya sangsi juga, tetapi setelah nekad ngomong. Eh ternyata Paulnya juga mau. Saya rasa tuhan sangat baik dengan memberi saya jodoh.

Apakah pernyataan untuk menikah ini merupakan sensasi saja?

Ini bukan sensasi. Dan Paul juga bukan orang bayaran yang saya bayar untuk publikasi ini. Ini benar-benar hubungan cinta dan kasih sayang. Saya terima dia apa adanya dan dia terima saya apa adanya.

Kapan rencananya Avi bertunangan?

Rencananya bertunangan pada tanggal 17 Juli nanti. Dipilihnya tanggal itu karena bertepatan dengan hari ulang tahun mamanya. Mariana Constance Suwito. Kami ingin merayakan ulang tahun mama di Bali. Mungkin ada rencana juga saya dengan Paul bertunangan di sana. Memang sih, tanggalnya bisa berubah doakan saja.

Setelah bertunangan, apa rencana selanjutnya?

Setelah bertunangan, rencananya kami akan menikah di Belanda agar pernikahan itu legal.

Kenapa di negara Belanda?

Ya karena cuma di sana yang bisa mengakui pernikahan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Selain di Belanda sebenarnya juga bisa di Kanada, tapi kami lebih memilih di Belanda. Mungkin bisa sekalian bulan madu di sana. Tapi rencana menikah itu masih lama kok, belum kepikir akan gimana.

Lalu bagaimana tanggapan ibunda Avi?

Awalnya sih ibunda sempat kaget dan ragu-ragu apakah Paul serius dengan hal ini. Namun setelah saya jelaskan ia maklum. Mama memang menginginkan agar peristiwa ini dipublikasikan untuk menghindari munculnya suara sumbang bahwa Avi dan Paul kumpul kebo. Selain itu juga buat menunjukkan bahwa waria juga bisa menikah.

Kenapa Avi memutuskan untuk menikah?

Saya ingin hidup layak seperti orang lain. Artinya, saya ingin mempunyai kekasih, punya suami, bisa menikah, saya ingin berumah tangga, karena saya ingin hidup normal.

Bukankah Avi secara kelamin seorang pria?

Memang saya terlahir sebagai seorang lelaki. Dan tidak berencana menjadi waria. Sifat kewanita-wanitaan dalam diri saya muncul begitu saja sejak saya masih kecil. Saya begini ini dari dulu. Saya juga tidak kursus sebagai waria.

Apakah Paul itu seorang gay?

Oh dia bukan gay. Paul itu adalah laki-laki tulen. Seorang gay tidak mau menikah dengan waria. Mereka maunya sama lelaki juga. Yang saya tahu Paul adalah lelaki normal.

Apa sih yang menarik dari Paul?

Yang jelas, Paul itu orangnya lucu, keren, ganteng. Selain itu, Paul juga baik sama Avi. Tapi yang paling Avi senangi dari Paul matanya biru, berbeda warnanya dengan kita, itu lho..

Pernah sebelumnya bermimpi bertunangan dengan laki-laki?

Ngak pernah mimpi bertunangan. Tapi pikiran untuk bertunangan sih ada. Saya ingin seperti wanita lainnya, berkeluarga dan mempunyai suami. Siapa tahu doaku terkabul dan saya bisa menikah dengan Paul.

Bagaimana tanggapan keluarga Paul?

Mama dan keluarga Paul tidak terlalu meributkan pertunangn ini , hanya kalau untuk pernikahan agaknya agak rumit

Bukankah pernyataan untuk tunangan dan menikah menimbukan kontroversial di masyarakat?

Saya siap menerima apapun tanggapan dari masyarakat soal pertunangan dan pernikahan sesama jenis tersebut. Saya sadar ini akan menjadi kontroversi, jadi ya jalanin saja. Pastilah ada yang pro dan kontra karena di Indonesia hukum-hukumnya tidak memperbolehkan pernikahan sejenis. Jadi jika sampai ke pernikahan, kami akan menikah di Belanda.

Apa yang sebenarnya yang ingin kalian buktikan di masyarakat?

Saya hanya ingin kasih lihat kepada masyarakat bahwa seorang wariapun ingin dan bisa hidup beruah tangga serta bahagia. Biar bagaimanapun juga kami kan tetap manusia, hanya saja sedikit berbeda. (Agus Salam /Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More

Senin, Juli 11, 2005

Beny Uleander

Anggapan Miring Homoseksual, Akibat Pengaruh Budaya Barat

Dr Dede Oetomo

Hidup sebagai kaum homoseksual tidaklah mudah. Di negara maju, mereka masih tetap dianggap sebagai wabah, terus dikejar-kejar dan dimusuhi. Padahal banyak di antara kaum homoseks merupakan figur cemerlang. Sampai kini belum ada riset tentang ada tidaknya kaitan antara kecemerlangan otak dengan orientasi seksual yang terarah pada sesama jenis kelamin.
Dari bacaan-bacaan yang ada, dapatlah disebutkan nama-nama besar yang termasuk dalam barisan kaum sehati (sebutan untuk kaum homo). Sebut saja Raja Iskandar Zulkarnaen dan Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pelukis), John Maynard Keynes (ekonomi neo-klasik), Michael Foucalt (posmodermis), Elton John (penyanyi), Glanni Versace (perancang mode). Sedangkan sastrawan internasional yang tergolong hombreng antara lain Oscar Wilde, Virginia Wolf, Walt Wiltman, dan Nokolia Gogol.Herlinatiens (penulis).
Konstruksi sosial yang menempatkan kaum homo sebagai epidemi telah lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Tak heran bila kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah stigma buruk (imagologi) yang sudah dilekatkan pada kaum homoseksual di seluruh jagad. Konstribusi mereka acap dikesampingkan karena homofibia(kekhawatiran berlebihan terhadap kaum gay dan lesbian) terlanjur berurat-berakar.
Bagaimanakah komentar Dr Dede Oetomo, seorang gay yang telah go
internasional, berbicara tentang kaum sehati ini. Berkat akitivitas di bidangnya tersebut, dosen FISIP Unair Surabaya dan guru besar Universitas Kebangsaan
Malaysia ini mendapat anugerah Felipe de Souza Award dari International Gay dan Lesbian Human Rights Commision (IGLHRC). Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Koran Pak Oles;

Bagaimanakah pendapat dan pandangan anda tentang kaum gay atau lesbi?

Pandangan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan gay dan lesbi, sudah saya tuangkan dalam buku yang telah saya buat. Judulnya Memberi Suara Pada Yang Bisu. Buku ini berisi tentang keprihatinan umum kaum homo seksual. Keprihatinan yang berujung pada pandangan yang berujung pada pandangan keliru masyarakat.

Kenapa masyarakat berpandangan miring atau keliru terhadap kaum homoseksual?

Anggapan miring terhadap kaum homoseksual selama ini, sebagai akibat dari pengaruh romantisme budaya kaum barat yang merembes ke Indonesia lewat ideologi pembangunanisme. Kebudayaan borjuis mengidentikkan perkawinan yang terbaik dan ideal itu dengan keluarga inti (nuclear family), yakni suami-istri (laki dan perempuan) dengan beberapa anak (kandung).

Bagaimana awal mula anda membuka diri dengan kondisi ada yang sebenarnya?

Awal mula saya membuka kenyataan diri sebagai gay, saat mengambil gelar doktor di Universitas Conell, Amerika Serikat dan membuang jauh-jauh kehidupan kepura-puraan yang saya lakoni selama ini. Saat itu, dekade tahun 1980-an. Gerakan emansipasi kaum gay sedang merebak di kampus-kampus Amerika. Saat itulah saya menemukan jalan keluar dari kemelut batin yang menimpa saya selama di Indonesia.

Bagaimana tanggapan masyarakat setelah dengan terbuka menyatakan diri sebagai gay?

Setelah berani menyatakan sebagai gay, banyak tamparan yang saya terima dari masyarakat. Salah satu diantaranya, sepulang dari USA, saya ditolak menjadi dosen di dua perguruan tinggi terkenal di Surabaya. Akan tetapi, berkat rekomendasi seorang profesor bijaksana, kemudian saya diterima sebagai dosen di FISIP Unair. Kedua orangtua saya selanjutnya juga berbesar hati dan menerima anaknya sebagaimana adanya dalam segala situasi untung maupun malang.

Menurut anda, sejak kapan kaum homoseksual ada di Indonesia?

Budaya homoseksual, sesungguhnya terlihat dalam budaya-budaya Nusantara. Misalnya di Bugis, Bali, Dayak, Jawa, Madura, Minangkabau, Papua, dan Toraja. Di Sulawesi Selatan, sampai akhir penjajahan Belanda, terdapat bissu (kaum homo) dengan tugas khusus menjaga arajang (pusaka) kerajaan dan mengatur upacara sakral. Para bissu, seiring amblesnya sistem monarki di zaman republik, kehilangan sebagian besar fungsi religio magis. Di Ponorogo, jawa Timur, sampai awal abad ke-20, mudah ditemukan gemblak (lelaki muda piaraan warok). Di Yogyakarta bahkan ada juga kampung bernama Gemblakan, asal katanya juga dari kata gemblak itu. Ada keyakinan, kesaktian lelaki akan disedot perempuan, maka para warok lalu tidak beristri, dan untuk menyalurkan gairah lalu memelihara gemblak. Tradisi gemblakan ini juga bisa ditemukan dalam Serat Centhini.

Bagaimanakah pendapat masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya tentang kaum homoseksual sekarang?

Secara umum, homoseksual masih dianggap sebagai penyimpangan psikologis maupun norma social. Pandangan ini jelas berasal dari Barat yang muncul bersamaan dengan perkembangan peradaban borjuis abad ke-19, di mana psikologi punya pengaruh luas termasuk di kalangan kelas menengah di Indonesia. Tapi di Barat sendiri, para psikolog tersebut telah meralat pendapatnya. Sehingga sekarang, di Barat homoseksual tidak lagi dikategorikan kelainan jiwa.

Apakah keinginan Anda saat ini?

Saya mencita-citakan kemungkinan kaum gay maupun lesbian de jure, bisa kawin-mawin. Cita-cita ini sepenari dan sependendangan dengan konsep keluarga idaman ala borjuis barat yang hendak didekonstruksinya.

Tidakkah dengan melegalkan, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti HIV/AIDS?

Penyakit ini merajalela bukan karena perilaku semburit di kalangan kaum homo melulu. Pun perilaku seks gonta-ganti pasangan di kalangan heteroseks dan pemakaian jarum suntik serampangan di kalangan pemadat narkoba. Dalam rangka mencegah menyebarluasan HIV-AIDS, saya dan teman-teman di yayasan GAYa Nusantara menjelaskan dengan gamblang, sopan, dan konkret praktik-praktik seks tidak aman berikut cara-cara menghindarinya.(Wuri Wigunaningsih/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Biodata
Nama : Dede Oetomo
TTL : Pasuruan, 6 Desember 1953
Pendidikan : Sarjana IKIP Malang, Doktor Cornell University USA
Pekerjaan : Dosen FISIP Unair,
Guru Besar Universitas Kebangsaan Malaysia

Read More

Minggu, Juli 10, 2005

Beny Uleander

Menyusur Transaksi Seks Waria Di Denpasar

Ngeseks Di Semak Dan Gubuk Alang-alang

Agin malam bertiup dingin menusuk lubang pori-pori. Kesunyian merambah kawasan Gatot Subroto Barat, Denpasar, pada malam Minggu, (9/7). Jam menunjukkan pukul 22.00 WITA. Sesekali terdengar suara jangkrik ditimpali suara gemersik daun pepohon dan deru mesin kendaraan yang melintasi jalan Gatot Subroto. Di beberapa sudut jalan terdengar suara obrolan orang-orang yang sedang makan nasi jinggo yang dijual dakocan (pedagang kopi cantik –Red).

Di tengah keheningan malam itu, ada pemandangan unik ketika kita melintasi Jl Bung Tomo. Di daerah itu, setiap malam selalu ada sekelebat bayangan hitam muncul di pinggir jalan saat ada kendaraan yang lewat. Sosok bayangan hitam yang dilihat dari kejauhan itu melambaikan tangan ke arah pengemudi. Sesudah itu hilang ditelan kegelapan malam.

Pemandangan serupa terjadi juga di kawasan Renon Denpasar, tepatnya di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Negeri Bali. Jangan berpikir di kawasan itu ada setan atau hantu pocong yang usil mengganggu pelintas jalan tersebut. Bayangan hitam itu adalah para waria yang kerap mangkal di kawasan Gatsu dan Renon. Mereka merias diri dengan dandanan menor, memakai wig (rambut palsu –Red), stocking, mengenakan tas tangan dan rok mini dipadu baju sempit yang membiarkan pusar telanjang. Senyum ramah selalu terkembang di bibir mereka yang belepotan lisptik tebal setiap kali menyapa kaum pria yang melintasi kawasan itu.

Malam bertambah larut mendekati pukul 24.00 WITA. Beberapa waria di Jl Bung Tomo itu sudah berani berdiri bebas di pinggir jalan. Sejurus kemudian, ada beberapa pengendara sepeda motor yang berhenti ketika distop para waria. Mereka berhenti karena ingin melayani sapaan waria atau memang sudah menjadi konsumen sodomi. Entahlah….. Yang pasti ada remaja, ada pemuda berkisar 25-30-an tahun dan ada beberapa orangtua atau kalangan om-om yang doyan ngeseks dengan waria.

Awalnya, mereka saling menyapa, menanyakan nama dan tentu saja ‘soal harga’ Rp 15 – 20 ribu sekali main. Setelah ada kata sepakat, si tamu yang umumnya datang dengan sepeda motor mendorong tunggangan mereka itu masuk ke beberapa jalan setapak yang penuh dengan semak belukar di kiri dan kanan jalan.

Lalu pasangan tersebut masuk ke dalam semak-semak. Tak ada suara kecuali bunyi jangkrik dan hembusan angin malam.

“Rata-rata tamu semalam bisa 7 sampai 10 orang. Paling ramai Malam Minggu, Mas,” tutur Rani, seorang waria asal Pemekasan, Madura yang mengaku baru seminggu di Denpasar. “Kami selalu pakai kondom kecuali dengan pacar sendiri. Ada yang minta dioral dan kalau mau main di dubur (anal seks –Red) terserah,” ujarnya blak-blakan.

Pemandangan lebih mencengangkan lagi di jalan Bung Tomo II. Di situ ada sebuah tanah lapang, sekitar ½ Ha, yang dikelilingi semak. Ternyata pada malam hari, pengunjung tumpah ruah di dalamnya, mulai dari remaja sampai kalangan orangtua. Meski begitu suasana tetap hening. Proses tawar-menawar terjadi lewat bisik-bisik halus. Orang tak menyangka di lahan kosong itu berbaur pelacur wanita tua berusia rata-rata 30-40 tahun, para waria dan lelaki hidung belang. Di setiap pojok, ada delapan buah pondok atau gubuk alang-alang berdinding terpal, tempat transaksi seks untuk WTS dan waria bergantian dengan konsumen mereka.

“Kalo main di sini 20 ribu tapi di tempat kostku, ta layani dua kali biar puas. Bayarnya dikit mahal 50 ribu. Khan bisa istirahat sampai pagi. Nggak apa-apa. Lagian aman di kost,” buka Silvi, waria, yang mangkal di Jl Bung Tomo.

Lain lagi tempat mangkal waria di kawasan Renon. Transaksi seks berlangsung di sebuah tanah kosong dan areal persawahan bekas jalur hijau kota tersebut. “Aduh, kaki saya kotor kayak gini gara-gara setan gundul brengsek tuh,” ketus Farida, bukan nama sebenarnya, kepada empat rekan sesama waria yang juga lolos dari kejaran seorang lelaki iseng yang mengaku jadi Pecalang Desa (Aparat keamanan banjar/desa –Red). Kejadiannya, malam Kamis, (6/7) sekitar pukul 03.00 WITA dinihari.

Wartawan Koran ini menyaksikan sendiri para waria di kawasan itu lari tunggang langgang dikejar pria ‘pecalang’ bertubuh gendut tanpa mengenakan baju dan berkepala plontos. Pria yang diketahui bernama Made asal Trunyan, Bangli itu mengaku terusik dengan perilaku waria yang dinilainya merusak citra Bali. Made yang menunggang Yamaha Mio berhasil menangkap seorang waria berperawakan tinggi. Waria itu jatuh terjengkang menghindari tinju Made ke arah wajahnya.

“Itulah resiko kami, Mas. Selalu saja ada yang iseng dan mengusir kami. Tapi sesekali ya akan kami lawan juga. Jangan kira waria itu lemah lho,” timpal Anggi sengit, salah satu waria yang lari bersembunyi, ketika ditanyai petualangan mereka yang berbahaya.

Ada juga segelintir waria yang mencari tamu di kawasan Jl Diponegoro. Mereka keluar ke jalan pada jam 23.00 – 03.00 WITA dan berdiri di sudut-sudut pertokoan. Kalau ada kata sepakat soal harga, tamu digiring ke kos yang tak jauh dari pertokoan. “Ayo Mas, ke kostku. Lagi sepi nih. Nggak ada tamu dari tadi,” rayu waria bertubuh sintal ketika didekati wartawan Koran ini. Itulah tempat mangkal waria di lokasi remang-remang di Kota Denpasar yang bertebaran sporadis dan liar. Namun digandrungi penduduk kota berbudaya tersebut. Aneh tapi nyata ada ladang HIV/AIDS yang dibiarkan! (Beny Uleander & Arnold Dhae/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More

Sabtu, Juli 09, 2005

Beny Uleander

Waria Bukan Sampah Masyarakat

I Gusti Ayu Pradnyandari Putri Bali 2005

Seraut wajah ayu tersenyum manis dan menyapa ramah. Sambil mempersilahkan untuk duduk, nampak sesekali gadis itu sibuk merapikan rambutnya. Ruangan agency Winproduction yang bercat biru langit itu, tampak makin cerah dengan balutan busana tanktop hitam beludru dipadu jas merah tua yang dikenakannya. Kecantikannya makin terpancar kala menahan tawa akibat pertanyaan nyeleneh kami tentang waria. Dialah I Gusti Ayu Pradnyandari. Sosok Putri Bali 2005 ini, ternyata punya pandangan lain tentang waria. Baginya, waria bukan suatu sampah masyarakat. “siapa sih yang mau jadi waria, itu kodrat, dia sendiri tentu ingin normal selayaknya orang biasa,” tutur dara kelahiran Dalung, 31 Januari 1985 ini.

Perilaku waria yang menyimpang dari keterarahan dasar pria menjadikan mereka dianggap aneh oleh masyarakat umumnya. Menurut pemilik tinggi 175 cm ini, banyak faktor yang menyebabkan seseorang berkompeten menjadi waria. “Secara psikologi, ada yang dari kecil bersifat kewanitaan. Adapula karena trauma akibat pemerkosaan, pencabulan menjadikannya benci sosok laki-laki,” jelas mantan pramugari Star Air ini.

Ungkapan yang dilontarkan Ayu, panggilan akrab Putri Bali ini, tak lain berdasarkan survey yang pernah dilakukannya bersama rekan-rekannya beberapa tahun silam. Namun, umumnya dari hasil survey ternyata lebih banyak pemicu menjadi waria akibat faktor genetis. Wajar saja, bila Ayu tidak menyalahkan seseorang menjadi waria. Menurutnya, selama mereka (waria_red) tidak mengganggu, tidak akan menjadi masalah. Di Bali tambahnya, masih jarang waria berkeliaran di jalan-jalan umum. Waria, justru banyak yang terjun ke lingkungan masyarakat. Tak ayal lagi, bagi Ayu, bila kini banyak waria yang terkenal dan pantas diacungi jempol karena bakatnya.

Disinggung perannya sebagai putri Bali dalam mengarahkan waria, perlu lebih hati-hati. Pasalnya, waria umumnya sangat sensitif. Pandangan masyarakat yang rendah terhadap waria menjadikannya merasa dikucilkan, sehingga perlu pendekatan secara perlahan.

Adanya waria, seharusnya diterima masyarakat. Hal ini berkaitan dengan keberadaan waria yang hadir karena ada yang membutuhkan. Tak bisa dipungkiri lagi, kehadiran waria walaupun dihujat masyarakat, tapi tetap saja banyak lelaki hidung belang yang memanfaatkannya. Bahkan, oknum-oknum tertentu turut mengeksploitasi waria. Namun begitu, Ayu tetap memaklumi masyarakat umum yang belum menerima secara lapang dada akan kehadiran waria.

Read More

Jumat, Juli 08, 2005

Beny Uleander

Hukum Belum Memberi Ruang, Masyarakat Mulai Menerima

Antara ada dan tiada, kira-kira seperti itulah eksistensi Wanita pria alias WARIA di bumi nusantara ini. Sejatinya komunitas yang melakukan penyempalan dalam kehidupan normal ini secara sosiologis ada. Kendati jumlahnya relatif lebih kecil dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya, namun dari sisi hukum kaum ini sama sekali tidak dikenal. Artinya, praktis keberadaan mereka tidak diakui.

Dalam hukum positif hanya dikenal dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, sedangkan wanita pria atau pria wanita hingga kini sama sekali belum pernah disebutkan. Sehingga keberadaan mahluk yang satu ini ketika mengusung kesetaraan gender dan persamaan hak membuat banyak kalangan, bertanya tanya. Namun sejauh ini lembaga yang berkompeten di bidangnya juga melancarkan jurus ambigu untuk melakukan penyikapan terhadap fenomena yang lambat laun kian meruyak ke permukaan.

Keberadaan kelompok masyarakat yang satu ini, sebenarnya sudah cukup lama diketahui, namun baru beberapa dekade belakangan ini, kelompok ini semakin transparan dan semakin berani menampakan jati dirinya, sehingga mereka tidak canggung lagi tampil didepan publik, baik dalam mengenakan busana,memilih profesi maupun menyatakan status.

Keterbukaan bagian masyarakat ini terus bergulir selaras dengan perkembangan jaman, bahkan beberapa diantaranya bahkan tanapa tedeng aling-aling dalam sikap dan laku serta tindakan radikal mengubah bukan saja penampilan tetapi juga vermak pisik dengan melakukan penggantian kelamin dari laki-laki menjadi wanita, termasuk juga perubahan secara yuridis. Gejala semacam itu tidak menjadi porsi kalangan masyarakat metropolis tetapi sudah merebak ke daerah seperti apa yang dilakukan putra Bali asal Buleleng sekitar 80 km arah utara Denpasar.

Kahumas Kejaksaan Tingggi Bali Nunuk Sugiyarti, SH, ketika diajak mendiskusikan fenomena Waria menyebutkan, sepanjang kaum yang satu ini melakukan interaksi secara sosial dalam masyarakat tidak terlalu mencolok, kehadirannya dapat dipahami menyusul adanya sikap yang cukup permisif dan ‘cenderung sudah menerima’. Namun, ketika mereka semakin berani menuntut hak-haknya yang sama dengan masyarakat normal misalnya kawin sesama Waria, pasti akan menimbulkan persoalan sosial maupun hukum.

Dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur, pada dasarnya perkawinan sebuah perikatan antara laki-laki dan perempuan, kala dilakukan antar sesama jenis jelas tidak mencocoki perumusan UU, kecuali salah satu diantaranya merubah status hukum maupun pisik sehingga memenuhi perumusan UU. Dengan demikian secara hukum positif perkawinan sesama jenis tidak diberikan ruang, karena tidak dapat memenuhi unsur-unsur yang terdapat dan diatur dan UU perkawinan. Bilamana perkawinan seperti itu terjadi, dapat dikatagorikan sebagai sebuah pelanggaran hukum bisa saja dikatagorikan pencabulan “ujar Nunuk dengan nada sedikit ragu. Fenomena Waria ini semacam perkembangan hukum yang harus dikaji dan dicarikan jalan keluar untuk menyikapi realita semacam itu, lebih-lebih belum adanya aturan yang secara jelas mengatur hal-hal seperti itu.

Dasar hukum dari sebuah perkawinan di Indonesia adalah UU No 1/74 yang diimplementasikan ke dalam PP No 9 tahun 1975 dan hukum adat yang ada pada setiap etnik baik secara tertulis ataupun tidak, namun masih hidup dalam masyarakat, sehingga status hukumnya jelas. Perkawinan sesama jenis diakui secara yuridis sepanjang salah satu di antaranya telah melakukan perubahan fisik dan biologis melakukan penggantian alat reproduksi yang disertai perubahan status hukum melalui penetapan hakim. Perubahan status sangat penting karena erat kaitannya dengan terjadinya peristiwa hukum lain di kemudian hari. Dengan demikian secara yuridis formil perkawinan harus dilaksanakan dan diakui, seperti diatur dalam koridur hukum perkawinan UU no1/74.

Perkawinan antar sesama jenis tidak diakui dan tidak diatur oleh UU No 1/1974, termasuk nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, jelas Ka Humas dan Hakim senior pada Pengadilan Negeri Denpasar Made Suraatmaja SH, sembari mempertanyakan adakah tokoh masyarakat dan lembaga atau apapun namanya yang mau melakukan (menikahkan) perkawinan seperti itu?

Prilaku dan tindakan sebagian masyarakat terhadap perkawinan sesama jenis khususnya dikalangan kaum Waria yang dianggap kemudian sebagai pengekangan, adalah refleksi dari semacam penolakan baik secara sosiologis dari komunitas masyarakat tertentu maupun secara tidak langsung UU tidak mengatur, selama status menyangkut jenis kelamin pasangan tsb belum jelas secara biologis dan atau secara yuridis. Di Indonesia masyarakat secara hukum maupun secara sosiologis belum dapat menerima perkawinan sesama jenis seperti yang terjadi pada sejumlah negara di luar negeri.

Sistem perkawinan masyarakat Bali dengan perubahan status (nyentana) memiliki perbedaan yang sangat substansial dengan perkawinan ala waria, kendatipun sama-sama dilakukan perubahan status. Nyentana dalam hukum perkawinan adat masyarakat Hindu Bali, fisik biologis antar pasangan adalah normal, hanya saja status hukumnya yang berubah, dimana perempuan menjadi laki-laki (purusa) dan staus laki-laki menjadi perempuan (predana).

Hal ini terjadi diakibatkan sesuatu hal khususnya yang menyangkut keturan laki-laki dalam satu keluarga perempuan. karena masyarakat Bali menganut paham patrilinial, barangkali ini boleh disebut sebagai sebuah terobosan, karena salah satu fungsi hukum adalah mengakomodir perubahan, tambah hakim Made Suraatmaja.

Khusus mengenai Waria, sejauh ini belum ada satupun produk hukum yang mengaturnya, kendatipun demikian hal itu semestinya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pengekangan, apalagi dikait-kaitkan dengan HAM. Karena kedua permasalahan itu harus dapat dipisahkan secara jelas dan tegas.

Senada dengan hakim senior Made Suraatmaja, praktisi hukum belia, Ida Bagus Radendra Suastama SH, MH menyebutkan, kendati secara sosiologis waria itu ada dalam masyarakat, namun dalam hukum positif mereka bahkan tidak dikenal. Misalnya dalam pembuatan surat otentik atau pencantuman status dikenal hanya dua jenis kelamin yakni laki-laki atau perempuan.

Waria dapat dikategorikan dalam sebuah anomali dalam masyarakat normal, sehingga tidak memiliki ruang dan dapat diterima secara yuridis formal maupun hukum agama Hindu “jelas Ida Bagus Radendra. Persoalan adanya perasaan terkekang akibat tidak bebas melakukan perbuatan layaknya komunitas normal adalah cara pandang semata-mata dan belum layak dikait-kaitkan dengan HAM, karena perbuatan kaum ini juga bagi masyarakat normal dianggap menabrak norma-norma susila yang ada. Namun sesungguhnya hak sebagai manusia secara hakiki seperti hak hidup, bernapas, memilih tempat tingal dan memlih pekerjaan sama sekali tidak dibatasi.

Dewasa ini sejatinya sudah ada perubahan paradigma dalam masyarakat sehingga keberadaan Waria secara implisit telah diakui, dan karena itu kehadirannya tidak dianggap sebagai penyakit sosial, atau sampah masyarakat, namun dalam prilaku tertentu, khususnya dalam perbuatan hukum yang masih menjadi kendala, sebab tidak mudah untuk mengubah sebuah norma yang sudah mendarah daging dalam masyarakat.

Stigma anomali terhadap kaum Waria akan semakin membatasi ruang gerak mereka dalam kehidupan sosial, kendati hukum telah melakukan sedikit keberpihakan yang menerima mereka setelah merubah fisik dan biologis, tetapi mereka tidak akan pernah secara sempurna menerima kodrat sebagai wanita yang dapat menyusui, menstruasi dan hamil. (Agus Eriyana/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Lesbianisme, Sebuah Politik Identitas

Fenomena mencuatnya wacana homoseksualitas, baik gay maupun lesbianisme, akhir-akhir ini, lewat berbagai forum dan media merupakan sebuah bagian dari politik identitas kelompok untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari kelompok dominan. Seperti politik identitas lainnya, wacana homoseksualitas menggunakan buku sebagai senjata untuk mendapatkan pengakuan tersebut.

Telaah sosiologis atas fenomena tersebut dikemukakan pendiri GAYa Nusantara Dede Utomo dalam diskusi dan bedah buku Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlina Tien Suhesti di Kampus B Universitas Airlangga (Unair). "Jika kita tempatkan dalam konteks sosial, lesbianisme adalah bagian dari politik identitas," ujarnya.

"Melalui observasi yang sangat dekat dan akrab dengan mereka yang memilih menjadi lesbian, saya memahami lesbian adalah given (terberi-Red), bukan to be (menjadi-Red)," ujar Herlina. Mereka yang terberi menjadi lesbian tidak menampakkan dan mengakui diri karena konstruksi sosial di masyarakat tidak memberi ruang untuk pengakuan itu.

"Bahkan, keluarga tempat individu itu lahir dan dibesarkan sulit dan cenderung tidak dapat menerima," ujar Dede. Perlakuan diskriminatif oleh masyarakat menurut Dede dalam era demokrasi sekarang ini tidak dapat dibenarkan. "Pasal 28 (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang diamandemen, menjamin hal itu," tambahnya.

Lagi pula, pandangan negatif dan diskriminatif masyarakat atas mereka yang 'menjadi' kaum homoseks disebabkan kesesatan informasi di mana kaum homoseks (gay dan lesbian) melulu hanya berpikir dan membicarakan masalah seks. "Kaum lesbian yang saya temui umumnya pintar dan memiliki andil dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, tidak melulu berpikir soal seks saja," ungkap Herlina.

Terkait pemilihan judul buku atau lebih tepatnya novel yang dibuatnya lima hari empat malam, yaitu Garis Tepi Seorang Lesbian, Herlina mengatakan hal itu sebagai cerminan dari apa yang dialami kaum homoseksual di tengah masyarakat, yaitu terpinggirkan. Namun, dengan makin terbukanya masyarakat saat ini, Herlina yakin, lesbianisme sebagai politik identitas akan mendapat tempat.

Keyakinan itu didasarkan kenyataan di masyarakat kita saat ini di mana seksualitas dan hal-hal yang terkait dengannya dirayakan dengan sangat intens. Selain maraknya penerbitan buku senada yang disambut luar biasa oleh publik seperti buku Jakarta Undercover karya Moamar Emka, perayaan seksualitas juga intens tampil dalam acara dan program di televisi.

Di tengah penolakan dan resistensi kaum konservatisme dalam memandang wacana dan gerakan homoseksualitas, Herlina yang cerdas dan masih muda belia ini, berujar penuh harap, "Masyarakat harus mulai dapat memahami".

Pepatah "jangan menilai buku dari sampul (judul)nya" tepat untuk buku ini. Buku bersampul gelap setebal 324 halaman karangan Herlinatiens ini memang menarik perhatian ditilik dari judulnya, Garis Tepi Seorang Lesbian. Menarik, karena dalam sejarah perbukuan di Indonesia, tidak pernah ada novel yang berani mencantumkan kata "lesbian". Apalagi ditambahi dengan segel "bacaan khusus dewasa".

Novel yang ketika pertama kali dilihat tampak sangat cerdas dengan tambahan foreword yang ditulis antropolog University of Amsterdam, Dr Saskia Wieringa, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah senior, Nin Bakdi Soemanto. Itu pun masih ditambah epilog oleh J A Yak, filsuf dan pengamat sastra. Biar makin kelihatan berisi, buku ini pun dilengkapi dengan footnote pada bagian isinya. Namun semua itu malah membuatnya jadi ‘bergaya Dee’.

Hampir seisi buku ini ditulis dengan gaya menulis surat kepada sahabat. Tokoh utama novel ini adalah perempuan lesbian bernama Ashmora Paria. Cintanya pada sesama perempuan membuatnya dikucilkan dan mendapat tekanan dari masyarakat. Paria harus berpisah dari kekasihnya Rie Shiva Ashvagosa karena Rie diharuskan menikah dengan laki-laki. Dan Paria menunggu, menanti kekasihnya kembali padanya. Tapi pada akhirnya Paria bertemu dengan Mahendra, lelaki yang dirusak hubungannya dengan calon istrinya oleh Paria agar mau menikahinya. (Wuri Wigunaningsih/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Waria Juga Mampu Berprestasi

Yayasan Gaya Dewata

Belasan piala dari berbagai kejuaraan seperti Dance Competition, Volly Pantai dan lain-lain tertata rapi di atas meja di sudut ruang tamu Yayasan Gaya Dewata yang terletak di jalan Suli, Denpasar. Hebat, itulah kata-kata yang keluar dari bibir kita melihat perjuangan anggota Yayasan Gaya Dewata yang notabenenya adalah gay, waria, dan lesbian. Meski banyak cemoohan masyarakat melihat keanehan seksual yang dimiliki, namun tak mengurungkan niat seluruh keluarga yayasan Gaya Dewata untuk terus berprestasi dan berkarya untuk diri, masyarakat dan negara.

Yang lebih membanggakan lagi adalah keberhasilan mereka meraih piala bergilir Turnamen Bola Volly & Miss Waria Se-Indoensia, Juara I, Smash Terbaik, Serven Terbaik di Turnamen Bola Volly Waria Tingkat Nasional, dan juara Foto Genic dalam pemilihan Miss Waria di Jakarta bulan Juni lalu. Kebanggaan pun terpancar di wajah Ketut Yasa Jaya, Direktur Program Yayasan Gaya Dewata saat ditanya mengenai prestasi yang diraih teman-teman satu yayasannya. ‘’Sudah banyak prestasi yang kita raih, dan baru-baru ini kita berhasil meraih lima piala sekaligus tapi yang tiga sudah diambil oleh masing-masing waria yang mendapatkan penghargaan tersebut,” jelasnya.

Namun ia menegaskan bahwa pendirian Yayasan Gaya Dewata bukan hanya untuk meraih prestasi di kancah nasional. Lebih dari itu, Gaya Dewata memiliki misi sosial yang bergerak dalam bidang kesehatan khususnya program terpadu penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Yayasan yang sebelumnya berbentuk organisasi sejak tahun 1992 dan mulai memisahkan diri sebagai sebuah yayasan pada tanggal 29 Desember 1999, kini beranggotakan 51 relawan yang bertugas menyebarluaskan informasi mengenai perilaku seksual yang aman terutama bagi kelompok homoseksual dan biseksual, serta kepada masyarakat luas.

Penyebaran informasi mengenai berhubungan seksual yang aman biasa mereka lakukan mulai dari lingkup terkeil yakni pergaulan disekitar mereka. Tapi tidak menutup kemungkinan juga waria tampil di depan umum menjadi pembicara dalam sebuah sosialisasi. Diakui, kepedulian kaum gay dan waria terhadap kesehatan diri sudah semakin meningkat dengan melakukan pemeriksaan ke dokter dan penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual.

Begitu banyak prestasi dan kegiatan sosial yang dilakukan. Namun perhatian pemerintah kepada nasib mereka masih dianggap sangat kurang. Jurang diskriminasi yang masih terbentang luas menjadi penghalang utama. ‘’Waria tidak hanya bisa dijalan, tapi kita juga mampu mengangkat nama Bali di tingkat nasional. Tapi sayangnya kita masih saja didiskriminasikan, buktinya belum ada waria yang menjadi pegawai negeri,” tegasnya. (Made Sutami/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Saudara Artinya Seudara

Komang Sri Marheni, S.Ag, Msi
“Kita harus terima kehadiran kaum waria. Jangan jadikan mereka sebagai manusia yang sakit,” tegas anggota tim Komisi Penanggulangan Aids (KPAD) Bali dan Kasubag Humas Kanwil Agama Propinsi Bali, Komang Sri Marheni,S.Ag, Msi ketika dimintai komentar soal posisi waria dalam tata sosial masyarakat.

Baginya, semua manusia ciptaan Tuhan adalah saudara yang menghirup satu udara yang sama. Itulah sebuah filosofi sederhana sekaligus landasaan humanis membangun sikap yang tepat dalam menilai dan menempatkan kehadiran waria dengan prilaku mereka yang unik.

Memang, dalam kehidupan ini berlaku hukum alam/kodrat dan hukum manusia. “Hukum kodrat diatur oleh Tuhan tetapi hukum manusia atau hukum adat mengatur kaidah-kaidah kehidupan sosial manusia,” papar alumnus S2 Kajian Budaya Unud 2005. Karena itu, setiap manusia yang terlahir ke dunia termasuk waria atas kehendak Tuhan.

Menurutnya, waria yang terlahir dengan organ fisik lelaki tetapi kondisi psikisnya perempuan merupakan kehendak Tuhan. “Saya kira semua waria tidak berharap mereka lahir seperti itu. Pasti mereka kecewa tetapi memendamnya dalam hati. Kita tak bisa menciptakan diri sendiri atau mengatur bisa mendapat anak yang cantik seturut kehendak kita,” ujar perempuan yang rajin merawat diri dengan mandi lulur menggunakan aneka madu Ramuan Pak Oles.

Lanjut perempuan kelahiran Singaraja, 9 Oktober 1965, kaum waria harus diberi bimbingan dan kegiatan yang sehat sehingga mereka dapat bertumbuh menjadi manusia yang normal. Selama ini, ia melihat waria sering dikucilkan dan dilecehkan. “Di jaman reformasi ini memang waria sudah sedikit mendapat kebebasan.Mereka diberi tempat berorganiasai dengan kegiatan tertentu. Selama ini kami dari KPAD Bali menjadikan mereka sebagai mitra kerja dalam menanggulangi bahaya HIV/ADIS,” imbuh perempuan yang masih aktif di teater seni Mini Badung.

Dirinya mengungkapkan contoh di Surabaya ada WTS yang tertular HIV/AIDS merasa tertekan sering dilecehkan dan dikejar-kejar aparat trantib dan tibum. Akhirnya, WTS tersebut merasa dirinya tak berarti dan menyebarkan secara brutal virus HIV/AIDS dalam darahnya lewat jarum suntik. “Ia menyuntik siapa saja yang dijumpainya. Ya, akhirnya banyak yang tertular HIV/AISD,” tambah isteri I Gede Astawa SH dan ibu tiga anak. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

‘Saya Tenteram Bersama Avi’

Paul Jureen (Pasangan Waria)

Lelaki yang menjadi pacar Avi adalah Paul Jureen (30). Pria kelahiran Belanda yang sudah 10 tahun lebih tinggal di Indonesia. Pria ini mempunyai bisnis priklanan yang berpusat di Singapura dan membuka cabang di Jakarta. ’Saya memang sedang berbahagia,’’katanya saat menemani Avi di Cafe Safari, Kebayoran Baru, beberapa waktu lalu.

Menurut Paul, kemungkinan pertunangan itu akan dilaksanakan tanggal 17 Juli 2005. Pemilihan tanggal itu karena bertepatan dengan ulang tahun Ny Marina, ibunda Avi. "Tapi masih bisa berubah juga. Nanti kami beritahu,’’ujar Paul.

Mengani hubungannya dengan Avi seorang jelas-jelas seorang waria, lelaki ganteng itu tidak menjawab secara tegas. ‘’Wah susah juga jawabnya. Itu masalah perasaan. Ya kembali kepada orangnya masing-masing,’’ ungkapnya diplomatis.

Sedang soal tanggapan keluarga, lelaki kelahiran Jakarta,17 Februari 1975, itu menyatakan tidak ada masalah. ‘’Kebetulan keluarga saya cukup demokratis jadi membebaskan pilihan itu kepada saya. Lagi pula mereka tahu pria seperti apa saya ini,’’katanya.

Apakah Paul seorang gay? ‘’Saya tidak bisa menjawab itu. Yang penting buat saya Avi baik, nggak banyak permintaan kepada saya, dan kalau berada dekat dia, saya merasa nyaman,’’ ucapnya.

Paul Jureen mengatakan akan tetap mencintai Avi apa adaya.’’Saya mencintai dia karena hatinya baik, itu yang penting. Saya nga ke pikir percintaan saya itu untuk mencari sensasi,’’kata Paul dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar. Karena itulah, Paul bisa menerima Avi dengan apa adanya.‘’Saya tahu siapa Avi dan itu tidak masalah. Yang penting saya merasa bahagia. Setiap berdekatan dengan Avi, saya merasa nyaman dan tentram,’’lanjutnya.

Soal perkawinannya yang menimbulkan kontroversial di masyarakat, Paul juga mengaku memikirkan itu. ‘’Itu juga yang saya pikirkan, nggak mungkin kita lakukan pernikahan di Indonesia dengan kondisi seperti ini. Sebab di sini hukumnya tidak diperbolehkan,’’katanya.

Ketika ditanya bagaimana keluarga mengetahui rencana ini? Paul menjawab, ‘’Kebetulan keluarga saya ada darah luar negerinya, jadi mereka cukup demokratis,’’kata Paul.

Paul juga mengaku kalau awalnya tidak tahu kalau Avi itu siapa. Setelah beberapa kali melakukan pertemuan dan ngobrol-ngobrol, baru tahu bahwa Avi itu seorang selebrit. ‘’Setelah sekian lama dan ngobrol-ngobrol saya baru tahu bahwa Avi itu seorang artis,’’tuturnya.

Sebagai pacar , Paul juga tidak mempermasalahkan status. Avi yang pernah menjadi terpidana terkait kasus narkoba. Saat Avi berada dalam sel tahanan pun Paul pernah membesuknya.

Karena kasus itu, hubungan percintaan Paul dengan Avi menjadi terputus. Paul kemudian menjalani kehidupannnya sendiri. ‘’ Setelah Avi dinyatakan bebas, kita coba omongin lagi dan ternyata bisa kembali lagi. (Agus Salam/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Menilik Perilaku ‘Sakit’ Waria Dan Homo

Reposisi Hak Dan Peran Dari Panti Waria

“Hati kami sakit kalau disuruh orangtua harus berpenampilan seperti laki-laki,” ungkap Corazon, salah seorang waria yang menjadi Miss Kudos dalam acara Bali Fashion Week VI lalu di Kuta dalam nada suara nan getir. Memang di mana-mana, kehadiran waria selalu ditolak, dilecehkan dan posisi mereka kian termarjinalkan dalam ruang-ruang sosial yang hanya menyiapkan format peran bagi manusia berjenis kelamin pria dan wanita.

Sementara, waria adalah manusia yang terlahir sebagai pria lengkap dengan organ-organ seks kepriaan tetapi pribadi dan jiwa mereka sesungguhnya adalah wanita. Kenyataan inilah yang membuat kaum waria selalu merasa terpojok dan menjadi barisan manusia sakit hati. Pertama, mereka umumnya ditolak oleh keluarga dengan melarang keras bersikap kewanita-wanitaan. Mereka dianggap sebagai aib keluarga. Perasaan tak diterima keluarga merupakan penderitaan batin maha dahsyat. Bukankah mereka tak menghendaki lahir sebagai waria?

“Coba tanya apakah ada waria yang mau jadi waria kalau tidak karena pembawaan sejak lahir,” ujar Komang Sri Marheni, S.Ag yang kerap melakukan penyuluhan bahaya HIV/AIDS kepada kaum waria di Denpasar.

Kedua, kaum waria dianggap sebagai manusia yang ‘sakit’ karena keterarahan seksual kepada kaum sejenisnya. Padahal agama wahyu di bawah kolong langit mengutuk perilaku tersebut sebagai dosa yang paling berat. “Kami ingin dilindungi oleh pria seperti wanita normal lainnya,” tutur Ria, bukan nama sebenarnya, waria yang sering mangkal di kawasan Renon.

Lanjut, Ria yang sedang menempuh S1 di Fakultas Hukum Unud, mereka amat kesal dengan prilaku munafik kaum homo. “Mereka itu (kaum homo –Red) sih munafik. Jiwanya perempuan tetapi tidak berani mengaku terus terang. Khan takut ditolak dalam pergaulan masyarakat. Kalo kami (Waria –Red) ya sejak kecil berpenampilan layaknya wanita. Memang kaum homo itu tidak berani menyatakan diri kalo mereka itu banci,” sindirnya.

Masyarakat awam umumnya menyamaratakan waria dengan kaum homo atau lesbi. Padahal ada bedanya. Menjadi waria bukan suatu pekerjaan atau status tetapi merupakan pembawaan sejak lahir ‘given’ (terberi -Red) bukan to be (menjadi -Red). Sebaliknya, orientasi seksual kepada sesama jenis masuk dalam daftar kelainan seks setara dengan hiperseks, masochisme atau bestialisme. Manusia memiliki kemampuan bi-seks hanya kemampuan untuk menyalurkan secara tepat merupakan suatu tantangan. Corazon sendiri mengaku meski terlahir dengan jiwa perempuan tetap merindukan suatu saat punya anak.

Reposisi hak-hak dan peran homoseksual bertabrakan dengan konstruksi orientasi mereka yang masuk kategori penyakit sosial, tren kebobrokan moral yang wajib diatasi, bukan hak azasi manusia yang mesti dilindungi seperti dituntut oleh kaum gay sekarang.

Kaum konservatif (baca: institusi agama) memegang kisah Luth, masyarakat Sodom dan Gomora untuk mengingatkan manusia untuk menjauhi kebejatan moral yang tercermin dalam praktek homoseksual. Artinya, prilaku homo seks dilihat akibat lingkungan pergaulan yang salah dan bisa ditularkan kepada sesama jenis.

Hasil penelitian dan penelusuran Yayasan Priangan Jawa Barat di Bandung menunjukkan tingginya kasus homoseksual terjadi di kalangan pelajar. Sebanyak 21% siswa SLTP dan 35% siswa SMU disinyalir telah melakukan perbuatan homoseksual. Survei di tujuh kota besar di Jawa Barat semakin memperjelas kondisi itu.

Survei ini dipertegas lagi dengan adanya temuan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Jawa Barat. Setelah melakukan polling antara bulan September-November 2002 dengan menyebar angket sebanyak 400 lembar, hasilnya cukup mencengangkan. Sekitar 75% pelajar dan mahasiswa di berbagai kota di Jawa Barat melakukan penyimpangan kategori kenakalan remaja. Mereka terlibat tawuran, narkotika dan penyimpangan perilaku seksual.

Survei menunjukkan 45% pelajar melakukan perilaku penyimpangan seksual dan di antaranya 25% pelajar pria melakukan perbuatan homoseksual. PII menggunakan responden berusia antara 12-24 tahun. Disinyalir pula ada komunitas kaum homoseksual di kalangan pelajar tersembunyi dan mereka berada di sekolah-sekolah favorit.

Sejarah pengakuan hak-hak sipil termasuk izin bagi kaum homo untuk berkeluarga sejauh ini baru dikeluarkan oleh tiga negara yaitu Belanda, Belgia dan Kanada. Di Indonesia sendiri, kehadiran waria, homo atau lesbi masih dianggap sebagai aib. Lantas, di manakah titik awal kaum berprilaku sakit ini membangun identitas politik mereka?

Menarik, hadir gagasan orisinal yang dilontarkan gadis remaja, I Dewa Ayu Kusuma Wardani siswa kelas III SMP Saraswati I Denpasar. “Kasian aja liat waria mangkal di jalan merusak pemandangan. Saya setuju kalo ada perkumpulan waria ya seperti panti waria-lah yang cocok buat mereka,” timpal field commander Drum Band Saraswati I, kelahiran Denpasar, 2 Oktober 1991.

Gagasan sederhana Kusuma Wardani mendapat dukungan dari Guru Olahraga SMP Sila Chandra Batubulan, Wayan Gita. Dikatakan, para waria perlu bersatu di panti waria. Di tempat itu mereka belajar menempa diri di bidang intelektualitas, mendalami ketrampilan tertentu dan bisa juga menjadi atlet yang berprestasi. “Selama ini mereka sudah mulai membentuk tim bola volley yang bertanding sampai di desa-desa. Itu kegiatan yang positif,” timpal pria kelahiran Batubulan tahun 1964.

Menurut tokoh pendidikan Bali, Drs IB Arthanegara, kaum waria harus dilihat sebagai manusia yang tetap memiliki kelebihan dan kekurangan seperti manusia lainnya. Upaya konkrit membangun kesadaran identitas kaum waria tidak harus dengan melokalisasikan mereka di suatu tempat. Memang diakuinya ada waria yang menyalurkan seks secara serampangan di pinggir-pinggir jalan, seperti di Denpasar di kawasan Renon dan Gatsu Barat. Itu tidak berarti pemerintah harus mengakomodir wacana membangun lokalisasi khusus waria agar tertib, mudah dipantau dan tidak liar.

Cara yang tepat? Ya dirikanlah Panti Waria. Langkah elegan ini direspon positif I Gusti Made Adi Kusuma mantan Ketua Harian Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMNS) Cabang Bali. “Contohnya di Bali sudah ada Gaya Dewata (Perkumpulan Waria –Red). Ya tinggal ditingkatkan saja visi dan mutu kegiatannya. Selain itu, Depsos harus memberikan alternatif lain yang dapat mengangkat citra positif kaum waria. Jangan mereka sebatas dikasari dan dikejar trantib dan tibum saja,” ujarnya.

Memang masih panjang jalan yang harus dilalui kaum waria, homo dan lesbi akan pengakuan masyarakat atas peran dan hak-hak sipil mereka. Namun perjuangan itu harus dimulai dari kaum waria sendiri. Caranya, ya bersatu membangun panti waria. Pasti di sana ada gagasan sosial dengan paradigma yang konkrit dan terarah. Kalau perjuangan meraih hak secara sporadis, sudah pasti waria hanya berani ngumpet dan tetap menjadi manusia yang berprilaku sakit dan sekaligus jadi barisan sakit hati sampai ajal menjemput.

Selama ini baru Dede Oetomo, staf pengajar di FISIP Universitas Airlangga yang berusaha merintis posisi identitas kaum homo, tetapi masih berjalan sendirian ibarat nyanyian sunyi di padang jagat semesta. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More