Rabu, Juni 30, 2004

Beny Uleander

Karyawan Perlu Miliki Sense of Beloging

NASKAH BELUM DIPOSTING
Tradisi pemantapan karyawan
(Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Massker Madu Hitam Hadir Di Surabaya

Massker Madu Hitam merupakan salah satu produk terbaru di bidang kecantikan alami, tidak hanya laris di Bali tetapi sudah mulai beredar di Jawa Timur. Kehadiran Ramuan Pak Oles ini ditandai peluncuran perdana yang diadakan di Aula Graha Bayangkara, Surabaya, Minggu lalu. Acara itu disaksikan Manager Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) Bokashi yang juga Manager Pemasaran, Made Subamia, Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, GN Wididana, Kacab Surabaya, Muni Muntoya yang didampingi 7 orang kepala Unit, TL dan 300 karyawan.
Uniknya, peluncuran yang ditandai pelepasan 2000 botol Massker Madu Hitam tersebut diwarnai dengan atraksi budaya, baca puisi, lagu Surabaya Bersatu Untuk Maju dan Surabaya Pasti Nomor Satu, karaoke dan dansa yang spontanitas dibawakan kru pemasaran, sebagai ungkapan bahwa kehadiran produk tersebut siap dipasarkan. Masker kecantikan ini diprediksi bakal menjadi produk best seller setelah Minyak Oles Bokashi.
Ketika ditantang Surabaya bisa menjual berapa botol per bulan?, Muni Muntoya menjawab, ‘’Kalau boleh, 10.000 botol, jangan hanya 2.000 botol saja’’. Subamia meminta agar Cabang Surabaya harus berani menjadi nomor satu melebihi Bali, Jakarta, Ujung Pandang dan NTB apalagi ditunjang pangsa pasar yang prospektif.
(Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Read More
Beny Uleander

Mengubah Sampah Menjadi Uang

NASKAH BELUM DIPOSTING
Kunjungan Pak Oles ke kantor Redaksi Surya Surabaya membagi tips kelola sampah jadi uang.
(Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Nama Puteraku, Moh Oles Mahdani

Eko Haryanto

Di balik keberhasilan dan kesuksesan seseorang, pasti ada seabrek kisah perjuangan di masa silam. Kesuksesan bukan sebuah hadiah apalagi anugerah yang turun dari langit, tetapi kerja keras disertai keyakinan akan apa yang dikerjakan itu baik dan benar. Rupanya sosok Eko Haryanto, seorang SPG kantor pusat PT Karya Pak Oles Cabang Surabaya, yang tergolong sukses memasarkan Ramuan Pak Oles.
Eko mengaku, dirinya memegang teguh prinsip kerja keras sebagai kunci sukses menuai hasil. Awal ketertarikannya menjadi SPG ketika ia merasakan sendiri khasiat obat-obatan tradisional Ramuan Pak Oles. Sejak di bangku SD, ia menderita penyakit asma. Suatu ketika, ia coba minum 3 tetes Minyak Oles Bokashi setiap hari. Baru seminggu, penyakit asmanya hilang. Lantas, Eko pun memutuskan untuk memasarkan produk asal Bali ini. Dalam hati kecilnya, terpatri keyakinan bahwa produk tersebut bukan produk sampah yang sekedar menombok duit dengan mengelabui para konsumen.
Diakuinya, semula ia terjun dalam beberapa bisnis MLM (multi level marketing) namun gagal. Ia prihatin melihat banyak teman yang bergerak di bidang MLM stres karena impian untuk cepat mapan terbengkelai. Eko sadar, pilihannya menjadi sales adalah keputusan yang tepat dalam sejarah hidupnya. Alasannya, produk Ramuan Pak Oles laris manis di pasaran karena berkualitas, alami dan banyak orang sudah merasakan khasiatnya.
Eko adalah salah seorang SPG perintis, sejak kantor cabang Surabaya dibuka di Menanggal Utara 12 tahun 2001. Buah kerja kerasnya mulai dinikmati. Penjualan tertinggi sebulan Rp 10 juta. Bersama beberapa rekan SPG, ia menerima kalung emas 6 gr, hadiah hiburan VCD, bonus bulanan dan mingguan. Kini, ia sudah bisa mencicil pembelian tanah dan kredit sepeda motor.
Eko mengaku bangga dan bersyukur bisa bergabung dengan PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Surabaya. “Saya berterima kasih kepada Pak Oles. Di tempat kerja Menanggal, saya dapat jodoh yang baik,” ungkap suami Setyoningsih. Sebagai tanda terima kasihnya, Eko pun memberi nama putera sulung yang berumur 7 bulan, Mohamad Oles Mahdani.
Saat ini, Eko menjalin kerja sama dengan event organizer perhotelan seperti Sheraton, Hyatt, Sahid, Satelit dan Shangrila dalam pemasaran produk. Kalau ada seminar di hotel, ia diberi kesempatan 5-10 menit perkenalkan Ramuan Pak Oles. Produk yang paling disukai konsumen adalah Gelang EM Keramik, Madu Jamur dan Minyak Oles Bokashi.
(Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Read More
Beny Uleander

Membangun Jaringan Laba-laba

Strategi Muni Muntoya Garap Pasar Surabaya

Ramuan Pak Oles resmi hadir di Surabaya sejak tahun 2001. Kerja keras dan disiplin tinggi untuk menjadi jutawan bersama produk ini, cukup memiliki taring di kota yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Pahlawan itu. Dipimpin Ir Muni Muntoyah, pemasaran ramuan tradisional khas Bali ini secara intensif digarap, dan kini sudah dibuka 7 kantor unit dan sejumlah konter. Bagaimana strategi Muntoyah dan timnya menerobos pasar, dan kiat sukses sejumlah tim marketing untuk sejahtera bersama Ramuan Pak Oles?
Cara kerja laba-laba yang membangun rumah berbentuk jaringan dan memiliki titik sentral menjadi inspirasi tersendiri bagi Kepala Pemasaran Ramuan Pak Oles Cabang Surabaya, Ir Muni Muntoya untuk membangun kantor unit dan konter di sejumlah kawasan di Surabaya khususnya dan Jawa Timur umumnya. Dalam sejarah militer, konsep jaringan laba-laba terbukti efektif menaklukan wilayah dalam suatu imperium. Kuasai daerah terdekat dan dirikanlah benteng pertahanan. Cepat atau lambat, musuh akan menyerah.
Strategi ini mulai diterapkan Muntoya yang secara bertahap menerobos pasar dengan membuka kantor unit di sekitar kota Surabya. Buktinya ada pos Menanggal Utara, Margorejo, Baratajaya, Perak serta konter di Jembatan Merah Plaza (JMP) dan Tunjungan Plaza (TP). Kota kabupten seperti Malang, Sidoarjo, dan Pondok Jati sebagai posnya, juga Gresik, Mojokerto, Lamongan dan Pasuruan.
Dalam perjalanan waktu, Muntoya menilai konsep itu efektif mempertajam marketing dan menguasai pasar, mengingat produk Ramuan Pak Oles selain alami juga terbukti khasiatnya. Keuntungan konsep jaringan laba-laba terletak pada efisiensi waktu, memudahkan mekanisme kontrol karena terjangkau dan mengurangi biaya akomodatif. “Bayangkan kalau kantor-kantor unit letaknya saling berjauhan maka biaya kontrol akan tinggi dan banyak waktu yang dihabiskan di perjalanan,” ungkap Muntoya ketika bersama Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, GN Wididana, Manajer Marketing, Made Subamia dan Pemred Koran Pak Oles, Albert Kin Ose M meninjau sejumlah kantor unit di Kota Surabaya pekan lalu.
Menurut alumumnus Universitas Nasional Jakarta 1993 ini, konsep jaringan laba-laba amat sinergis dengan strategi marketing produk Ramuan Pak Oles; direct seling dengan SPG sebagai ujung tombak. Sejak dibuka di Surabaya tahun 2001, pangsa pasarnya masih terbuka. Ini bisa dilihat dari peningkatan penjualan per bulan. Bahkan, setiap unit sudah berani memasang target penjualan sebulan. Daya dukung SDM juga memadai dan kini sudah direkrut 300 orang SPG yang tersebar di 7 kantor unit.
Diakuinya, konsep jaringan laba-laba sebenarnya lahir dari pemikiran yang terfokus pada upaya meningkatkan pemasaran plus peletakan dasar manajemen usaha yang rasional dan berkualitas. Artinya, Cabang Surbaya hanya fokuskan diri pada wilayah pasar terdekat namun tergarap optimal, yang ditopang majemen terkontrol efektif guna minimalisir kendala klasik secara internal. Sebuah unit yang bermasalah bisa cepat diketahui dan bisa segera dicarikan solusinya. Kegiatan memotivasi karyawan dan SPG diperkaya dengan dialog interaksi yang kolektif. ‘’Ini dimungkinkan karena kedekatan wilayah sehingga mudah terjadi pertukaran informasi dan pengalaman,’’ tambah Muni. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Read More
Beny Uleander

Capres SBY: Kependudukan Jadi Agenda Nasional

Bagi Indonesia masalah kependudukan terutama adanya urbanisasi di sejumlah kota besar menjadi pekerjaan rumah nasional yang belum terpecahkan. Konflik sosial merupakan implikasi dari tidak tertatanya penduduk secara baik.
Karenanya, penataan kependudukan menjadi agenda nasional yang harus segera dicarikan solusinya. Demikian ditegaskan Calon Presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika ditemui di sela-sela kampanyenya di Bali belum lama ini.
Menurut SBY, penataan dilakukan bukan hanya keluarga berencana, bukan hanya pencatatan pertumbuhan penduduk, bukan hanya keadaan demokrasi yang lain namun persoalan kependudukan menjadi hal yang berhubungan dengan semuanya. Penataan kependudukan tetap menjadi agenda nasional yang harus disikapi serius.
“Khusus Jakarta, lanjut suami Ani Yudhoyono ini, saya memberikan atensi sebab Jakarta kalau tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif. Sementara urbanisasi jalan terus, daya dukung Jakarta tidak mungkin. Belum lagi memecahkan penggangguran di kota. Lalu masalah perumahan dan lain sebagainya. Mungkin juga kejahatan yang menjadi implikasi dari itu semua.
“Saya akan meminta kepada pemerintah nasional jika saya terpilih nanti termasuk metropolitan Jakarta untuk melakukan pengelolaan sesungguh-sungguhnya,’’ tegas Capres kelahiran Pacitan, Jatim ini.
SBY juga menyampaikan visi dan misinya untuk Bali lima tahun mendatang jika ia terpilih. Mengangkat ekonomi dan dunia usaha Bali menjadi egenda utamanya. Bagaimana ekonomi dan dunia usaha di Bali pulih dan bangkit kembali setelah dulu mengalami tragedi pada tahun 2002 lalu, khususnya bidang pariwisata dengan cabang-cabang usaha yang berkaitan dengan itu.
‘’Kerajinan rakyat, usaha kecil dan menengah dan jasa yang lain tentunya terpukul kalau pariwisata di Bali ini mengalami penurunan. Oleh karena itu, saya ingin yang akan datang jika saya terpilih nanti bersama-sama dengan pemerintah Bali dan masyarakat Bali untuk mempertahankan keamanan Bali seaman-amannya. Penegakan hukum termasuk juga kejahatan narkotika. Yang terpenting, upaya menghidupkan kejayaan dunia pariwisata agar penggangguran bisa segara ditekan,’’ ujarnya. (Mei Nababan & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Mengubah Sampah Menjadi Uang

Kunjungan Ke Redaksi HU Surya Surabaya
Berbagai kota besar di Indonesia seakan menjadi penampung aneka masalah mulai dari kepadatan penduduk, kawasan kumuh hingga pengelolaan sampah. Titik soal sampah adalah kristalisasi dampak limbah industri dan rumah tangga. Selama ini, pemerintah cukup serius memperhatikan masalah sampah dengan menyiapkan TPA (tempat pembuangan akhir) di luar kawasan pemukiman penduduk.
Hanya saja ada kelemahan dalam pengelolaan sampah yang menjadi keprihatinan Dr Ir GN Wididana, M.Agr alias Pak Oles saat berdiskusi dengan jajaran redaksi HU Surya dan pemimpin perusahaan PT Antar Surya, Dwianto Setyawan dan GM Percetakan, Gito Handoyo di kantor redaksi HU Surya, di Surabaya, pekan lalu. Diskusi yang dikemas dalam suasana kekeluargaan itu lebih pada sepak terjang Pak Oles di bidang tanaman obat-obatan, pertanian dan pupuk organik.
Diakuinya, pemerintah menyiapkan anggaran khusus untuk pengelolaan sampah di kota-kota besar, tanpa diimbangi konsep ekologis dan ekonomis yang tepat. Sebab sampah di TPA tiap hari terus menumpuk dan menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan. Selain menimbulkan polusi udara, lahan tambak dan persawahan di sekitarnya rusak akibat rembesan air limbah yang mengandung bahan kimia. Memang ada upaya teknis seperti menimbun sampah untuk dijadikan kompos (compossities), membakar dengan mesin insinerator (burning), pembangunan sanitary landfild, dan terakhir yang akan dilaksanakan di Sidoarjo, Surabaya adalah thermal converter (pembakaran tuntas) dengan teknologi Waste Energy System dari Inggris untuk menghasilkan tenaga listrik.
Berbagai upaya teknis itu, kata Pak Oles, amat jauh dari konsep teknologi ramah lingkungan dan cost-nya tinggi. Yang terjadi selama ini, kritiknya, pemerintah menghamburkan uang negara dalam jumlah yang besar untuk mengelola sampah. Kondisi ini kian diperparah kehadiran investor yang menawarkan program pengelolaan sampah hanya sekedar menangkap alokasi dana APBD. ‘’Katanya investor, tetapi mereka datang dengan proposal dan usulan dana yang begitu besar,’’ tandasnya.
Keprihatinan ini mendorong dirinya, pada tahun 1997, merintis pengelolaan sampah di TPA Suwung, Denpasar Selatan pada areal seluas 3 hektar dengan menggunakan Teknologi Effektive Microorganism (EM) yang ekologis dan menghasilkan uang. Ia menilai, praktek adalah sebentuk kesaksian yang kuat ketimbang teori atau ide yang muluk-muluk.
Akhirnya, ia merakit pengalamannya dengan modal keyakinan dan keberanian meski awalnya ada tantangan dan sikap meremehkan dari kalangan eksekutif dan legislatif. Pak Oles bertekad mengubah pola pikir tentang sampah sebagai sumber masalah yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah menjadi menjadi pupuk organik meski sempat dituding sebagai pupuk racun tanaman.
Mesin pemilah sampah organik dan anorganik adalah para pemulung. Sampah organik diolah menjadi pupuk organik yang ternyata laris di pasaran. Sebab saat ini ada gerakan untuk kembali ke alam (back to nature) sehingga kehadiran pupuk organik efektif menggusur pupuk pestisida yang mengandung bahan kimia. Penggunaan teknologi EM untuk pengelolaan sampah bermanfaat, menanggulangi kelangkaan pupuk organik, mengatasi problem sampah dan mempunyai nilai ekonomi.
Daya serap pasar Bali terhadap kebutuhan pupuk organik sebulan mencapai 100 ton. Sehari, TPA Suwung roduksi 5 ton pupuk organik. Sistem distribusinya, Pak Oles bekerja sama dengan pemerintah. Usahanya di bidang EM kini berkembang pesat baik dalam dunia pertanian maupun kesehatan, kecantikan dan otomotif dengan Spontan Power-nya. Ia meramu berbagai tanaman obat lewat teknologi EM dan kini sudah ada 26 produk Ramuan Pak Oles yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bandar Lampung, Bali, Makasar, NTB serta pembelian tunai dari konsumen Jepang, AS, Jerman, Thailand, Korea dan Malaysia melalui internet. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Urbanisasi Bukan Momok

Oscar Niemer, seorang arsitek terkenal mengatakan masalah sosial mustahil dipecahkan di atas meja gambar. Artinya, untuk memahami setiap masalah sosial, kita diwajibkan untuk terjun langsung ke lapangan mengamati akar penyebabnya dan meneliti faktor-faktor pendukungnya. Upaya mengatasi masalah sosial seputar urbanisasi tidak sebatas obrolan di warung kopi.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk kota dan diperluasnya skala kota, muncullah banyak masalah dalam proses perkembangan urbanisasi, misalnya, polusi lingkungan, kurangnya energi dan padatnya lalu-lintas. Karena itu pemerintah perlu mengenal proses urbanisasi dari sudut lingkungan ekologi, struktur ekonomi dan sosial dengan selain mementingkan hasil ekonomi juga mementingkan hasil guna lingkungan dan sosial.
Banyak penelitian, studi maupun kajian yang menyatakan bahwa berkembangnya lingkungan permukiman kumuh di kota besar dan sulitnya penanggulangan masalah tersebut sangat terkait dengan laju pertambahan penduduk yang sangat cepat. Hampir 2 juta penduduk bermigrasi menuju ke kawasan perkotaan (khususnya kota-kota besar di Indonesia) dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Fenomena ini dapat mewakili permasalahan yang paling signifikan di sebagian besar kawasan perkotaan di Indonesia.
Pesatnya pertumbuhan penduduk (1,49% per tahun) antara lain didorong oleh tingginya intensitas perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan telah memberikan pengaruh besar terhadap terjadinya perkembangan lingkungan permukiman baru dan peningkatan kepadatan penduduk dan hunian di perkotaan (baik permukiman lama maupun baru).
Pertambahan populasi yang cenderung melebihi ambang batas kapasitas daya dukung lingkungannya ini selanjutnya akan menimbulkan beban terhadap sumber daya alam, sosial, individu, maupun lingkungan terbangun yang telah ada. Kondisi ini lebih diperburuk dengan kurangnya kemampuan sumber daya manusia (penduduk lingkungan itu sendiri) dalam mengelola sumber daya tersebut.
Kenyataan di atas menjadi potret hitam arus urbanisasi di kota-kota besar Indonesia. Padalah, proses urbanisasi yang ditata dan dipantau Pemerintah lewat kebijakan nasional (lintas propinsi) merupakan langkah tepat mengendalikan urbanisasi liar. Selama ini, masing-masing popinsi terkesan menerapkan kebijakan lokal yang bervariasi padahal proses migrasi itu terjadi antar propinsi dan pulau. Dengan kata lain, proses urbanisasi sedemikian kompleks dan tidak hanya terbatas pada lingkup lingkungan kota itu sendiri, melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari permasalahan antar kota dan hubungan antara kota dan desa (urban-rural linkages).
Kalau dirunut ke belakang, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan agenda “Cities Without Slums” pada tahun 2010 dan mendorong pemerintah kota dan kabupaten untuk saling bekerja sama (city to city cooperation) dalam rangka menggali potensi kota/ kabupaten melalui pertukaran pengalaman dan peningkatan kapasitas manajemen kota/kabupaten untuk menangani urbanisasi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.
Penanganan arus urbanisasi yang komprehensif dan lintas kota yang sudah dicanangkan di atas merupakan salah satu bagian dari upaya untuk mewujudkan lingkungan kota yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan guna mendukung pengembangan jati diri, kemandirian dan produktivitas masyarakat. Kualitas permukiman yang layak huni dan terjangkau akan sangat berpengaruh pada proses penanggulangan masalah urbanisasi, mendorong pertumbuhan wilayah yang lebih terintegrasi, mendukung terwujudnya urban-rural linkage yang diharapkan, dan sekaligus mendukung perwujudan permukiman pedesaan dan kawasan perdesaan keseluruhan yang berkelanjutan.
Kita harus mengakui bahwa urbanisasi sedang menjadi tenaga pendorong penting perkembangan ekonomi di suatu kota besar, seperti diungkapkan ekonom terkenal dari negeri tirai bambu, Doktor Hu Angang. Arus urbanisasi harus dipercepat guna mendukung percepatan dan akselerasi pembangunan berkelanjutan.
Satu tenaga pendorong penting dalam perkembangan ekonomi dewasa ini adalah memperbesar kebutuhan dalam negeri, sedang urbanisasi adalah mata rantai penting untuk memperbesar kebutuhan dalam negeri.
Baik dilihat dari jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang, sebenarnya pertumbuhan ekonomi di beberapa kota besar di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar, yang paling penting adalah meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan yang merupakan 2/3 dari jumlah total penduduk Indonesia. Sedangkan meningkatnya pendapatan penduduk pedesaan tergantung pada peningkatan produktivitas. Namun bagaimana meningkatkan produktivitas? Dilihat dari keadaan sekarang, perlu dipercepat proses urbanisasi.
Proses urbanisasi itu sendiri harus dipahami beralihnya penduduk pedesaan menjadi penduduk kota yang mendatangkan banyak keuntungan bagi perkembangan ekonomi. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, urbanisasi memungkinkan tenaga kerja pertanian beralih ke bidang produktivitas kerja yang tinggi dari bidang produktivitas kerja yang rendah. Kedua, tenaga kerja pedesaan yang mendapatkan pendidikan tertentu akan memainkan peran yang lebih baik di kota daripada di desa. Ketiga, pembangunan prasarana yang sama akan mendatangkan efek yang lebih besar di kota daripada di desa. Keempat, pengeluaran konsumsi penduduk pedesaan akan meningkat tajam setelah masuk kota. Urbanisasi dapat membantu penduduk pedesaan meningkatkan produktivitas kerja, dan selanjutnya meningkatkan taraf pendapatan dan konsumsi.
Meningkatnya taraf konsumsi penduduk pedesaan tak pelak akan mendorong pertumbuhan pesat ekonomi. Sebenarnya, urbanisasi meningkatkan pula efek investasi dalam perkembangan ekonomi di suatu kota. Masuknya penduduk pedesaan dalam jumlah besar ke kota akan meningkatkan tajam kebutuhan air, listrik, transportasi, komunikasi dan prasarana lain di kota. Ini akan memberikan peluang yang baik untuk memperluas investasi. Arus urbanisasi tidak selamanya menjadi momok sebuah kota besar.
Hanya saja arus urbanisasi harus ditangai Pemerintah guna mempertahankan perkembangan selaras kota besar, menengah dan kecil membimbing tenaga kerja pedesaan mengalir dengan rasional dan teratur melalui mekanisme kontrol yang efektif dan efisien. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Badung Tak Diskriminatif Terhadap Pendatang

Peribahasa ada gula ada semut amat tepat melukiskan fenomena melonjaknya angka kaum urban di Kabupaten Badung, yang terkenal sebagai salah satu kawasan wisata dunia. Pasir putih Pantai Kuta yang indah dipenuhi hotel-hotel dan aneka industri kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan asing dan lokal. Tentu saja, lahan empuk mengais rejeki bagi kaum urban.
Pemda setempat memang telah menyiapkan seperangkat peraturan di bidang kependudukan agar tidak ada perlakuan diskriminatif antara urban lokal dan luar Bali. Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Badung Drs Tjok Ngurah, B A, di kantornya pekan kemarin. Salah satunya adalah Perda Kependudukan No 5/2001, yang mengatur kelengkapan identitas bagi kaum pendatang. Sedangkan kepemilikan KTP dikuatkan dengan kesepakatan bersama gubernur, walikota, dalam Perda No 153/2003 tentang besaran rupiah untuk kepemilikan kartu identitas.
Sampai April 2004, total penduduk Badung sebanyak 352.953 orang; 177.336 (L) dan 175.517 (P). Kaum pendatang 73.544 orang tersebar di 6 kecamatan; Abiansemal, Kuta Utara, Mengwi, Kuta, Petang dan Kuta Selatan. Artinya, selain sebagai tempat pariwisata, Badung juga menjadi salah satu sasaran serbuan kaum urban. ‘’Kabupaten Badung ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikerubungi semut. Untuk mengatur kaum urban kami melakukan pembinaan dan penertiban melalui perda berdasarkan kesepakatan bersama gubernur dan walikota,’’ jelas Tjok.
Penduduk pendatang tanpa identitas, diakui Tjok, menyulitkan aparat kabupaten dalam melakukan pendataan jumlah penduduk. Apalagi keberadaan mereka tidak dilaporkan tuam rumah. Pemda senantiasa melakukan penyuluhan dan pembinaan pada kaum urban, tanpa membedakan asal, agama dan jenis kelamin. ‘’Pemda Badung tidak pernah membedakan atau berlaku diskriminatif terhadap pendatang atau penduduk asli. Semua sama, sebab orang Indonesia yang berhak hidup di mana saja tetapi dengan catatan melengkapi administrasi kependudukan,’’ tegas Tjok.
Namun, yang perlu diantisipasi adalah masalah identitas karena bisa berakibat fatal bagi yang bersangkutan dan pariwisata Bali. Misalnya, kaum urban yang tidak membawa KTP terlibat kasus pencurian, yang terkena imbasnya pasti seluruh urban termasuk yang memiliki pekerjaan dan identitas. Ujung-ujungnya kalau tidak ada pembinaan dan saling toleransi akan menuju SARA. Tjok menilai kelengkapan identitas merupakan sarana penertiban penduduk pendatang untuk mengurangi peluang terjadinya tindak kriminal. Ia menghimbau desa adat agar mendorong warganya untuk selalu melengkapi identitas kependudukan. “Jangan sampai urusan administrasi kependudukan menjadi ajang perpecahan atau diskriminatif terhadap kaum minoritas,” tegasnya. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Perlu Solusi Realistis Atasi Urbanisasi

Kapolda Bali, Irjen Polisi, I Made Mangku Pastika
Di berbagai kota besar, eksistensi (ada dan hidupnya) kaum urban selalu terusik karena dianggap sebagal salah satu biang kerok timbulnya permasalahan di kota-kota besar. Bali sebagai tempat tujuan pariwisata dunia dengan magnet ‘bergelimang dolar’ tentu menjadi daya tarik bagi investor dan kaum urban.
Hanya saja, generalisir tudingan tersebut, tak seutuhnya diterima secara akal sehat, tetapi harus dipilah dan dipilah-pilah lagi. Sebab, tidak semua kaum urban melakukan tindakan kriminalitas. Kapolda Bali, Irjen Polisi, I Made Mangku Pastika menilai, lazimnya kaum urban di manapun berada tentu telah berperan menimbulkan masalah, baik soal kependudukan, pemukiman, kesehatan, hukum maupun tindakan kriminalitas.
“Oleh karenanya perlu diambil solusi terpadu, sistematik dan realistis untuk mengatasi masalah urbanisasi ini. Tidak semua kaum urban melakukan tindakan kriminalitas tetapi mereka yang tidak memiliki pekerjaan justru cenderung belih berperan,’’ tegas Mangku Pastika di sela-sela Lights ON Bali, di GOR Ngurah Rai, Denpasar.
Pastika mengakui, adanya sejumlah kawasan pemukiman kumuh yang tidak memenuhi syarat, baik di Denpasar atau ibu kota kabupaten lainnya di Bali. Kerja sama seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan suasana aman, wajib digalakkan. Artinya, masalah keamanan bukan hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga pekerjaan semua lapisan masyarakat.
Di tempat terpisah, Kahumas Polda Bali, Komisaris Besar Polisi, Pengasihan Gaut mengatakan, benar adanya kaum urban kadang membuat masalah. Karena itu perlu ditertibkan terutama setelah bom Bali dan ditambah belum ketemunya 5 orang pelaku bom. Hal inilah yang menyebabkan kepolisian fokus melakukan pengecekan identitas dan pengawasan keluar masuk kaum urban ke Bali. Kelengkapan identitas, wajib bagi kaum urban yang ingin masuk Bali, karena identitas kartu tanda penduduk (KTP) bukan segalanya
Gaut menilai, 66 dari 81 orang yang ditahan karena kasus narkoba justru dilakukan oleh penduduk dari luar Bali. ‘’Ini salah satu indikasi dan bukti bahwa memang cukup signifikan kaum urban melakukan kriminalitas di Bali. Walaupun begitu, kepolisian tidak pernah membedakan etnisitas, kaum urban atau lokal. “Yang terpenting, pasal berapa yang dia langgar, ancaman hukuman apa, berapa tahun hukumannya. Pihak kepolisian berbicara pasal bukan etnisitas,” tegas Gaut. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More

Selasa, Juni 29, 2004

Beny Uleander

Granat Desak Presiden Terpilih Berantas Narkoba

Memperingati Hari Anti Narkoba 26 Juni, Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Cabang Denpasar menggelar aksi penyebaran pamflet dan brosur anti narkoba kepada para pengemudi kendaraan di setiap perempatan jalan. Sementara anggota Departemen Investigasi Granat Denpasar, Deny Dian Varindra bersama sejumlah stafnya mendatangi lokasi donor darah yang digelar SBY Fans Club Tokcer di Warung Capres dan Cawapres SBY-JK, Jl Hayam Wuruk Denpasar, Sabtu lalu.
Di hadapan sejumlah tim sukses Capres Susilo Bambang Yudoyono dan Cawapres Jusuf Kalla (SBY- JK) Bali, Varindra juga diterima untuk membacakan pernyataan sikap Granat Bali yang juga diminta untuk dikirim ke Jakarta.
Kepada Capres dan Cawapres yang terpilih dalam pemilu mendatang, Granat Bali menyampaikan 5 butir pernyataan; Pertama, agar memiliki kebijakan dan program jelas terhadap pemberantasan peredaran gelap, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kedua, memiliki rasa kepedulian lebih terhadap segala bentuk aktivitas masyarakat yang bergerak dalam upaya memerangi peredaran gelap dan penyalahgunaan barang-barang haram.
Ketiga, mempunyai kebijakan dalam mengalokasikan anggaran yang signifikan terhadap setiap program-program yang ada hubungannya dengan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Keempat, mendesak pemerintahan baru untuk berani menindak tegas aparat maupun oknum yang ikut terlibat atau memanfaatkan wewenangnya dalam peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Kelima, Granat meminta Capres dan Cawapres terpilih bersikap tegas, menolak permohonan grasi bagi terpidana mati kasus peredaran gelap narkoba tersebut di bumi Indonesia.
Pernyataan sikap itu diterima salah seorang tim sukses SBY-JK Bali, Gede Ngurah Wididana disaksikan Putu Suasta dan 500-an anggota SBY Fans Club Tokcer yang sedang antri untuk donor darah. Beberapa staf Granat DPC Denpasar juga secara sukarela menyumbangkan darahnya seusai pembacaan pernyataan sikap.

SBY Fans Club Tokcer Donor Darah
Sedikitnya, 500 orang yang tergabung dalam SBY Fans Club Tokcer di Bali, Sabtu kemarin melakukan kegiatan donor darah secara suka rela. Donor darah tersebut dipusatkan di Warung SBY, Jl Hayam Wuruk, Denpasar. Ikut hadir dalam acara tersebut antara lain Putu Suastha dan Gede Ngurah Wididana selaku anggota tim sukses kampanye pasangan Capres Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Muhammad Yusuf Kalla dan sejumlah kader dan simpatisan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Bali.
Menurut Koordinator SBY Fans Club Tokcer, dr Putu Aryana, kegiatan sosial ini merupakan sebuah sumbangsih para sukarelawan yang ngefans sama capres SBY kepada masyarakat yang membutuhkan darah. Sekitar 75%, yang mendonor darah merupakan karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer. Kegiatan seperti ini sudah rutin dilakukan dua kali dalam setahun sejak perusahaan ini didirikan.
‘’Donor darah ini menjadi sebuah kegiatan yang ditunggu-tunggu ratusan karyawan. Begitu antusiasnya para karyawan yang ingin terlibat menyumbangkan darahnya. Karena itu, selaku koordinator SBY Fans Club Tokcer, kami wajib menyeleksi berapa karyawan yang bisa mendonorkan darahnya dalam club ini kepada Palang Merah Indonesia Cabang Bali. Yang mau mendonorkan darahnya itu banyak. Tetapi kami harus menyeleksi baik kesiapan fisik maupun mental si pendonor. Banyak juga pendonor non karyawan termasuk beberapa orang dari DPD Granat Bali,’’ tegas Putu Aryana.
Aksi sosial ini dilakukan, menurut dr Aryana, karena didorong oleh keprihatinan kepada pihak Palang Merah Indonesia (PMI) yang acapkali mengalami kekurangan stok darah. Terutama untuk golongan darah B dan AB. Hampir 10% dari pendonor yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki golongan darah B dan AB. Sedangkan sisanya, golongan darah A dan O.
Politikus Bali, Putu Suastha saat diminta komentarnya menyatakan, ide donor darah ini adalah murni dari Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, IGN Wididana. Aksi sosial yang dilakukan SBY Fans Club Tokcer ini patut didukung dan bisa menggugah pihak lain untuk mendonorkan darahnya demi kehidupan sesama. ‘’Kebetulan yang hadir sekarang adalah mereka yang ngefans sama pasangan SBY dan Yusuf Kalla sehingga digelar di dekat Warung SBY. Aksi spontanitas seperti ini luar biasa, karena menggugah orang lain menyumbang darahnya,’’ jelas Putu Suastha.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pak Oles lewat aksi donor darahnya merupakan tindakan politik representasi. Artinya, langsung menyasar kepada tindakan riil. ‘’Politik representasi jauh lebih baik. Masyarakat sekarang jauh lebih menginginkan tindakan yang dapat dilihat dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,’’ katanya. Lewat kegiatan inilah sebenarnya menjadi tolak ukur masyarakat mana politik yang dianggap mampu menyasar pada kebutuhan masyarakat itu sendiri. (Beny Uleander & Mei Nababan/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Penduduk Penumpang, Memalukan!

Dengan kepala tertunduk, Sokrates mencoba mengingat kembali awal mula terbentuknya sebuah pemikiran logis yang lahir di tanah Yunani, yang disebut filsafat. Ia lahir dari perasaan takjub akan alam semesta dan berusaha mengungkap fakta di balik gejala-gejala alam itu. Manusia tidak lagi mencari jawabannya dalam alam pemikiran mitologis. Awal mula ada chaos dan kemudian muncul ketertiban; alam dan hukum-hukumnya. Namun ada satu misteri maha dalam yang tak terjawabkan hingga kini mengapa yang terjadi adalah ketertiban bukan chaos?
Seperti lumba-lumba yang lompat tinggi di atas permukaan air laut dan kembali menyelam, Thomas Hobbes, pengagum Sokrates, tergoda mengamati komponen-komponen yang membentuk keteraturan dan keberadaan sebuah negara dan kemudian menelaah dalam lautan hipotetis: mana komponen yang utama? Negara ditopang oleh eksistensi riil sebuah masyarakat yakni penduduk, ada lokasi huni yang lazim disebut wilayah meliputi darat dan laut, ada sebuah hukum yang mengikat dan mempersatukan semua warga dan ada sebuah pemerintahan.
Benarkah negara itu ciri khas kehidupan sosial manusia? Aristoteles mempopulerkan zoon-politikon mau menujukkan bahwa seorang manusia selalu dan secara inherent menunjuk kelekatan kodrati pada keberadaan orang lain. Saya sebuah pribadi yang otonom justru karena kamu ada sebagai diri yang lain (homo sociale). Demikian juga, keberadaan negaraku hanya karena ada warga bangsa lain. Barangkali ini alur menentukan harga sebuah kedaulatan dan martabat bangsa yang kemudian dirumuskan dalam semangat nasionalisme dan patriotisme.
Hobbes bingung mau menentukan mana yang ada duluan: wilayah, penduduk atau hukum. Serumit menjawab mana yang duluan ada, telur atau ayam. Rasanya harus ayam duluan ada untuk mengerami telurnya. Rasanya juga, dalam pikiran Hobbes, kelompok manusialah yang membentuk negara bukan negara yang membentuk kelompok manusia. Namun Hobbes kembali bingung ketika penghuni negara itu terdiri dari berbagai kelompok manusia yang berbeda suku, agama, ras dan kebudayaan.
Dengan lihai, Hobbes meretas jalan pemikirannya bahwa negara terbentuk oleh dua sebab awal. Pertama karena kesamaan geografis, suku dan kebudayaan. Kedua, karena persamaan dalam perasaan senasib. Aspek terakhir ini disebut Frans Magnis Suseno sebagai negara bangsa yang mendasari terbentuknya negara bhineka tunggal ika. Bumi Indonesia didiami penduduk yang teridiri dari ratusan suku seperti Melayu, Sunda, Bali, Toraja, Ambon, Bugis, Flores, Ambon dan Asmat di Irian Jaya. Hanya saja pada tahun 1928, anak-anak bangsa sepakat menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Indonesia terbentuk karena persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah ± 300 tahun oleh Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Unsur fundamental persatuan tidak terletak pada kesamaan suku, agama, budaya, ras ataupun kelompok etnis. Ini berarti Indonesia secara hakiki berbeda dengan China, Thailand, Israel ataupun Timor Leste. Pantas saja, founding father kita Ir Soekarno gemar memakai term anti imperialisme dan kolonialisme sebagai jargon membangkitkan semangat nasionalisme. Salah satu slogan yang terkenal, Amerika kita seterika dan Inggris kita linggis.
Ketika granat waktu yang disebut globalisasi meledak di awal abad 21, jauh hari sebelumnya Jhon Naisbit, seorang futurulog, sudah meramalkan akan berdentang keras pula suara dari gerakan untuk kembali membangun identitas diri. Gerakan melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional justru tumbuh ketika kesadaran akan identitas diri ditemukan di tengah pergaulan internasional. Dalam perspektif ini, lahir juga semangat desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang dibingkai dalam terminologi mentereng otonomi daerah.
Sebuah keunikan terjadi di Propinsi Bali. Otonomi daerah sebagai kebijakan mainstream mengelola dan menggali potensi daerah dieksploitasi secara sepihak oleh kalangan legislatif menjadi lahan membangun dikotomi picik penduduk setempat dan penduduk penumpang dengan penetapan Kartu Identitas Penduduk Sementara alias Kippem. Praktek memalukan ini dikemas dalam bingkai keputusan legal. Ini sebuah pengkhianatan atas HAM, pembukaan UUD 1945 dan juga mengubur mimpi-mimpi historis para leluhur dan pendiri Republik ini.
Kita tak perlu bersilat lidah soal peraturan Kippem karena sudah telanjang mata sebagai kebijakan yang menggerogoti persatuan sebuah nation. Siapa saja yang lahir di bumi Indonesia adalah warga negara Indonesia. Mereka ini disebut penduduk Indonesia sebab konstitusi kita tak mengenal penduduk Denpasar tetapi penduduk Indonesia. Sesama warga negara tidak pantas disebut penduduk penumpang di bumi Nusantara ini.
Warga negara Indonesia yang datang membangun hidup di Kota Denpasar kini mengalami kesulitan memperoleh KTP sebagai penduduk setempat. Pasalnya, mereka diklaim secara picik sebagai penduduk penumpang.Kita bertanya relakah masyarakat di Kota Denpasar pindah ke Surabaya atau Medan disebut penduduk penumpang. Lebih parah lagi, masyarakat Bali sendiri yang bukan berasal dari Denpasar dicap penduduk penumpang kalau mereka tinggal di Denpasar. Padahal secara historis, kota ini bukan dibangun oleh para anggota dewan yang terhormat itu tetapi dirintis dan dibangun oleh kakek-nenek mereka yang anak-cucunya sekarang disebut penduduk penumpang itu.
Anehnya, kebijakan yang super aneh ini terus dibiarkan berlangsung oleh DPRD dan kalangan eksekutif. Pada masa Orde Baru, rakyat ketakutan kalau didatangi segerombolan serdadu, namun sekarang ‘penduduk penumpang’ itu merasa tertekan secara psikis dan fisik ketika rumah mereka tengah malam digebrek Polisi Pamong Praja dan aparat Trantib.
Rupanya kemerdekaan di Indonesia cuma istilah mentereng yang amat manis di mulut retorika tetapi begitu pahit lagi menyakitkan di dalam ranah praktek. Lucunya, kala ada upaya pengerahan massa dalam kampanye legislatif dan pilpres, ‘penduduk penumpang’ ini dirayu menjadi konstituen. Caleg masuk keluar lorong-lorong kumuh dan becek menggalang dukungan. Begitu berhasil duduk di rumah rakyat, mereka ini mengeluarkan statement suci: Kippem perlu dipertahankan untuk mengontrol penduduk pendatang di Kota Denpasar sekaligus sebagai salah satu sumber PAD.
Ketertiban dan keteraturan penduduk memang penting apalagi di sebuah kota besar. Hanya saja, kunci keteraturan itu harus bersumber pada hak-hak dasariah penduduk sebagai warga negara dan tidak mengangkangi UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Barangkali, kalangan legislatif ketika membuat keputusan tidak menundukkan kepala seperti Socrates (baca: maaf tidak pakai akal sehat) atau tidak menelaah langkah-langkah hipotetis Hobbes tentang komponen mana yang utama dalam sebuah negara: rakyat atau negara. Bolehkah demi negara dan demokrasi, penduduk dikejar-kejar dan dianggap sebagai penduduk penumpang di atas tanah leluhur mereka? Rakyat silahkan pilih mana yang bertampang militeristik: purnawirawan TNI ataukah kalangan legislatif dan eksekutif? Ah, memalukan menjadi penduduk penumpang di negeri sendiri!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 61 MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Demokrasi Dan Nelayan Miskin

Amartya Sen, guru besar (sekarang emeritus) Universitas Harvard, AS, seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, ketika menghadiri suatu seminar internasional di Jepang, tahun 1999, ditanyakan wartawan peristiwa terpenting apakah yang mendominasi kehidupan manusia abad 20 silam. Dengan tegas Amartya menjawab satu kata. Demokrasi!
Mungkin jawaban Amartya ini terasa janggal karena pada abad itu ada berabgai peristiwa besar seperti berahkirnya imperialisme Eropa, lahirnya negara-neraga baru, perang dunia I dan II atau runtuhnya negara komunis Uni Sovyet. Selain itu, demokrasi sudah dirintis sejah jaman Yunani kuno. Paling tidak sudah berumur dua milenium dalam tarik masehi. Bagaimana kehidupan negara-negara kota (polis) yang memberikan perlindungan yang penuh kepada warga kota sempat dinikmati Plato dan Aristoteles.
Sejarah demokrasi itu sendiri kemudian pada tahun 1215 di Inggris dipertegas dalam Magna Charta Libertatum, disertai penegakan dengan pertumpahan darah dan taruhan nyawa dalam revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Kekuasaan kerajaan tumbang dan diganti oleh pemerintahnan republik. Kemudian system demokrasi itu diimplemenatasikan di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke-19 dalam bentuk pemungutan suara.
Baru pada abad 20, demokrasi diterima di mana-mana sebagai system politik yang normal. Meski terjadi tarik menarik wewenang antara hak pemerintah dan hak rakayat, namun demokrasi paling tidak menjadi model terbaik membangun sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengakuan Amartya bukan sekedar cuap-cuap teoretis tetapi ilmuwan kesohor ini telah membuka landskap pemahaman komprhensif bahwa ada korelasi kuat antara demokrasi dan kelaparan rakyat di suatu negara, antara kemacetan nilai-nilai demokrasi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, dan atau antara pengekangan kehidupan demokrasi dan kemelaratan nelayan di sebuah negara maritim.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia menjadi miniatur pelajaran historis kebenaran pendapat Amartya. Cornelis de Houtman asal negeri Kincir Angin , Belanda berulang kali menelan air liur melihat lezatnya kekayaan alam bumi Nusantara. Apalagi Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku kala itu benar-benar bertumpu pada kejayaan maritim yang kemduian dijajah Belanda.
Pada tahun 1945, Indoensia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka secara de fakto dan de jure. Namun Belanda dan sekutunya kembali melakukan invansi militer untuk menguasai kembali negeri kolam susu dan madu ini. Mereka sudah meraakan senditi bahwa hasil perkebunan dan pertanian di Indonesia telah mendatangkan keuntungan berjuta-juta golden bagi APBD Belanda yang sempat defisit.
Faktas histories di atas seharusnya menjadi suatu kebanggan bagi ratusan juta manusia yang lahir di republik ini bahwa mereka menjadi penduduk di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Apalagi sebagai negara kepulauan, luas lautan melebihi 70% dari luas daratan ini. Ini berarti masa depan rakyat ini ada di laut. Program Gemala atau gerakan masuk laut dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan pembangunan berbasis pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan adalah suatua kebijakan rasional.
Namun sebuah perasaan sedih dan duka yang menyayat hati sekaligus rasa malu tak terkira bahwa penduduk negeri ini hidup melarat. Bahkan untuk membangun negaranya saja terpaksa menjadi bangsa pengemis dan peminta-minta di mata donatur Internasional. Lebih melukai perasaan kemanusiaan, ratusan ribu warga negara ini terpaksa menyambung hidup di negeri lain. Ada yang diperkosa, dianiaya dan mati terbunuh. Sebegitu rendahkah harga diri manusia Indoneia. Apa yang salah di negeri tercinta ini. Pemerintah, pendidikan, tentara, wakil rakyat atau kita mendapat kutukan penguasa semesta menjadi ‘ayam yang kelaparan di atas tumpukan jerami’? Kutukan itu membuat mata hati kita buta untuk melihat kemampuan dan potensi diri yang luar biasa hebat.
Seacara tegas harus dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan penduduk negeri ini akibat pemasungan dan pengkhianatan penguasa terhadap pertumbuhan nilai-nilai demokrasi. Sejak awal pendiriannya, para founding fathers telah meletakan dasar negara republik sebagai bentuk negara ideal yang mendekati negara demokrasi.
Tak bisa disangkal dengan segudang teori kalau kemiskinan karena rendahnya SDM ataui sistem pendidikan yang keliru. Yang pasti kehancuran pembangunan di Indonesia karen a negeri ini dipimpin dari satu penguasa otoriter ke penguasa yang rakus harta dan ingin melanggengkan kekuasaannya. Dengan kata lain, kegagalan membangun sendi-sendi kehidupan demokrasi sebagai penyebab tunggal kehancuran Indonesia.Kenyataan ini mendukung pernyataan Amartya kalau demokrasi terkait erat dengan kelaparan dan penderitaan lahir batin warga negara.
Demikian pula kemiskinan yang masih mellilit petani nelayan di Indonesia akibat kekuasaan otoriter. Meski ada kalangan akademisi yan gmengeluarkan berbagai jurus teori bahwa nelayan kita kurang terampil, tak memiliki manjemen pekerjaan dan sebagainya. Dalam teropong filosofis, pembangunan adalah suatu usaha untuk memperluas kebebasan individu dalam suatu negara. Kemduian kebebasan itu diwujudkan melalaui pembanguanan di segala sector.
Ada dua jenis kemerdekaan yang dipasung di Indonesia. Pertama, kebebasan substantif, artinya semuah hasil pembangunan harus memperbesar kekebasan. Kedua, kemerdekaan instrumental, yaitu sarana utama implemnetasi pembangunan adalah juga kebebsan itu sendiri.
Dalam persoalan nelayan miskin di Indonesia, mereka tidak dipandang sebagai orang yang kekurangan pendapatan, ketiadaan pangan atau tiadanya sarana penangkapan ikan. Kemiskinan dilihat sebagai akibat perampasan kebebasan dan kemerdekaan seseoran guntuk mengembangkan bakat, potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Bayangkan, rezim diktator di mana saja pasti berusaha membungkam suara-suara keadilan yang berasal dari rakyat. Bagaimana kita berteriak agar nelayan kita pandai menangkap ikan sedangkan penguasa memasung pendidikan itu. Bagaimana berharap generasi mnendatang menjadi genrasi maritim sedangkan dalam sistem pednidkan dan kehidupan sosial mereka digiring menjadi genrasi yang apatis. Akibatnya yang lahir kemudian baisanya angkatan muda yang kerdil, ngambang, cas-cis-cus banyak, isi otaknya sedikit, tahunya hanya obat-obatan terlarang, dan kreativitsnya hanya melulu di selangkangan. Generasi seperti itu yang sebetulnya yang diinginkan oleh rezim ditaktor di manapun, termasuk di Indoensia.
Potensi perikanan laut Indonesia sangat kaya dan melimpah. Saking kayanya akan ikan, memancing pun tidak perlu pakai umpan, bahkan bisa diumpamakan si nelayanlah yang dikejar-kejar ikan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa potensi yang sedemikain besarnya tidak seimbang dengan kontribusi yang diberikan terhadap perekonomian nasional.
Bambang Subako dari Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia mengatakan untuk mengembangkan perikanan Indoensia kita bisa mencontoh Inul. Ada empat konsep bisnis yang bisa dipelajari dari Inul. Satu, dia tahu apa kebutuhan konsumen. Kedua, dia bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Ketiga, dia jujur dan polos. Semakin dia jujur, maka semakin dia disenangi dan mendapat simpati dari berbagai kalangan. Dan yang terakhir adalah dia mampu memunculkan sesuatu yang baru.
Sekarang bukan saatnya lagi pemerintah mengambil langkah-langkah keamanan untuk mencegah masuknya kapal-kapal asing ilegal yang mengeruk kekayaan laut Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia karena di sini tidak ada saingan. Jadi kita tidak bisa menyalahkan mereka. Langkah yang seharusnya diambil pemerintah baru saat ini adalah mempertahankan demokrasi agar rakyat merasa bebeas berkarya baik di arat maupun di laut. Kedua, mengundang para investor untuk memajukan sektor perikanan di Indonesia. Jadi yang paling mujarab adalah pembangunan ekonomi melalui investasi. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Ubud, Kota Urban Yang Minim Konflik

Berbicara mengenai urbanisasi, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan kecamatan terbanyak yang ‘diserbu’ kaum urban setelah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Namun persoalan urban bagi kecamatan yang memiliki tujuh desa dan satu keluran ini bukan menjadi momok yang memberatkan. Bahkan dianggap sesuatu yang cukup positif. Bahkan, kecamatan Ubud ini menjadi pemasok PAD terbesar bagi Kabupaten Gianyar.
Tercapainya Ubud sebagai Kota Urban yang minim konflik tidak terlepas dari penanganan penataan penduduk yang baik dan terorganisir. Hal itu diakui oleh Camat Ubud, Made Budiartha. Menurut Budi, demikian ia biasa di sapa, Kecamatan Ubud yang memiliki penduduk 59581 jiwa dengan jumlah pendatang 1723 orang diakui cukup riskan terjadi konflik.
Hanya saja, semua lapisan masyarakat Ubud baik itu lembaga pemerintahan, bendesa adat, maupun masyarakat telah berkomitmen untuk bersama-sama hidup tertib administrasi. ‘’Siapapun warga atau orang asing yang datang dan berkeingian untuk tinggal baik itu dalam jangka waktu yang pandek atau lama wajib melapor kepada petugas desa. Sehingga siap-siapa saja yang datang dapat diketahui dengan jelas,’’ katanya.
Seiring pertumbuhan kaum urban yang cukup tinggi, otomatis pembangunan tempat tinggal sementara atau rumah kost tumbuh pesat di Ubud. Sementara pemilik kost diwajibkan untuk mendaftarkan atau melaporkan anak kostnya kepada petugas desa. ‘’Jujur saja, yang dikhawatirkan adalah orang yang datang tanpa identitas dan maksud yang jelas. Kalau pihak pemilik kost tidak selektif di dalam menerima yang mau menempati kamar sangat berbahaya,’’ jelasnya.
Menyangkut mekanisme pemberolehan identitas, Budi menjelaskan tidak ubahnya seperti sistem yang diterapkan oleh kabupaten lainnya. Ubudpun menerapkan sistem Kippem (kartu identitas penduduk pendatang). Kippem ini berlaku selama tiga bulan dengan biaya admistrasi sebesar Rp 50 ribu. Pendatang baru berhak mendapatkan KTP setelah dua kali perpanjangan Kippem secara berturut-turut.
Laporan kependudukan periode April 2004, Kecamatan Ubud telah mengeluarkan 1018 Kippem dan enam KTP. Sementara jika dilihat dari banyaknya penduduk pendatang, Desa Peliatan menjadi destinasi kaum urban terbanyak. Sekitar 346 orang disusul Desa Potulu 310 orang dan Kedawatah 299 orang. Sementara Desa Mas 212 orang, Ubud 181 orang, Lodtunduh 169, Sayan 116, dan Singakarta 90 pendatang. Banyaknya jumlah kaum urban inilah yang mendorong Kecamatan Ubud untuk terus melakukan perubahan dan pembenahan di bidang kependudukan.
Bos Yang Atur Kippem
Soal kepengurusan Kippem, bagi Jumanto pria asal Jember yang bekerja sebagai pengrajin kursi kayu di Kecamatan Ubud, Gianyar bukan menjadi masalah. Pasalnya, semenjak ia diterima sebagai tenaga kerja seminggu kemudian ia telah menerima Kippem dari sang bos. ‘’Semua sudah diatur dan diurus bos. Kita tinggal bekerja saja,’’ kata bapak satu orang anak ini.
Mencari sesuap nasi. Begitulah jawaban klise Jumanto ketika ditanya mengapa ia datang ke Ubud. Dua tahun lalu, berbekal keahliannya membuat kursi kayu hias, Jumanto menginjakkan kakinya ke Ubud. Ketika itu, ia sama sekali tidak mengetahui seluk beluk Ubud. Bahkan, ia dengan tegas mengatakan ia hanya bergantung kepada teman yang membawanya ke Ubud.’’Saya dibawa oleh tetangga satu kampung yang kebetulan bekerja di sini,’’ jelasnya.
Ternyata, Jumanto mengaku sedikit terkejut ketika tahu ternyata di tempat ia bekerja banyak juga penduduk pendatang yang bukan asli orang Ubud bahkan bukan orang Bali. Hampir 90 persen adalah penduduk pendatang. Hal itu membuat Jumanto sedikit lega, karana banyak dari teman-teman dari satu daerahnya. Kita di sini, lanjut Jumanto, tinggal bersama-sama dalam satu tempat tinggal. Dan soal pengurusan Kippem atau identitas lain tidak masalah, soalnya semua ditangani oleh bos.
Karyawan Kaum Urban Menguntungkan
Memiliki karyawan yang berasal dari luar Bali ternyata bukan menjadi masalah bagi para pengusaha. Meski saat hari raya keagamaan, banyak penduduk pendatang yang kembali ke kampung halamannya untuk merayakannya bersama keluarga masing-masing. Seperti, menjelang hari raya Idul Fitri, kaum urban berbondong-bondong mudik meninggalkan Bali.
Namun hal tersebut tidak membuat Herman, pengusaha toko kain penyedia bahan baku garmen di Denpasar kelimpungan mencari tenaga bantuan. Ia juga tidak merasa dirugikan oleh para karyawannya. ‘’Kejadian seperti itu sudah menjadi hal yang lumrah setiap tahun, sehingga dari jauh-jauh hari saya sudah memperhitungkan pengiriman pesanan kepada langganan saya. Kalaupun tidak bisa, mungkin akan kami kirim setelah hari raya. Lagipula garmen yang menjadi langganan saya juga menetapkan hari itu sebagai hari libur,” terangnya.
Malah ia mengaku, lebih untung memiliki tenaga kerja seorang pendatang dari pada penduduk asli. Dari pengalaman yang dimilikinya, penduduk asli Bali yang dominan beragama Hindu lebih banyak mengambil cuti mengingat banyaknya hari raya umat Hindu di Bali. ‘’Anak-anak jarang pulang, paling setahun sekali, atau kalau ada keperluan mendadak saja. Sementara karyawan asli Bali kendalanya banyak sekali, terutama terbentur dengan masalah upacara. Saya juga tidak tahu apakah ia benar-benar mengikuti upacara agama atau tidak. Kalau dari tingkat kerajinan saya rasa sama saja,” ujar pria asal Malang, yang sudah 20 tahun hidup di Bali.
Namun, untuk menghindari terjadinya cuti yang berlebihan sehingga menimbulkan kecemburuan bagi keryawan lain, Hendra menerapkan sistem bonus dalam penggajian. ‘’Besarnya penghasilan yang diperoleh tergantung dengan diri mereka sendiri. Kalau kerjanya rajin, ya bonusnya gede, sehingga mereka jadi bergantung sama dirinya sendiri, dan akhirnya mereka akan rajin masuk kerja,” ungkapnya.
Erwin Siregar, SH: Penertiban Penduduk Itu Penting
Persoalan kaum urban di Bali menjadi wacana yang tidak habis-habisnya dibahas. Sederetan awig-awig telah disepakati para pejuru adat guna meminimalisir datangnya kaum urban. Persoalan tidak berhenti di situ, timbul berbagai sikap pro dan kontra. Sementara kaum urban sendiri berupaya mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia.
Pengacara Erwin Siregar, SH mengupas fenomena kaum urban ini dari segi hukum. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk datang dan tinggal di Bali. Bahkan ada hal mendasar yang harus diketahui bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum. ‘’Harus diingat undang-undang yang berlaku tidak hanya itu. Ada undang-undang otonomi daerah yang harus juga diperhatikan,’’ ujar Erwin.
Adanya otonomi daerah inilah yang sebenarnya menjadi hal yang dilematis. Satu sisi dikatakan bahwa setiap orang Indonesia berhak datang dan tinggal di daerah tertentu, namun di sisi lain ada undang-undang otonomi daerah yang sepertinya menciptakan ajang pengkotak-kotakan. Sebenarnya, lanjut Erwin, antara kedua jenis UU ada keterkaitan yang erat. Artinya, setiap orang Indonesia berhak untuk datang dan mendiami daerah tertentu di Indonesia. Namun, harus diingat untuk tinggal setiap orang juga harus mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh daerah tersebut. Contohnya saja Bali. Guna meminimalisasi dampak negatif adanya kaum urban ini, Bali telah melakukan proteksi lewat awig-awig yang disepakati oleh elemen masyarakat baik itu para penjuru adat, pemerintah maupun masyarakat. ‘’Nah, mau tidak mau para pendatang wajib mengikuti semua aturan yang ada. Terutama soal kelengkapan admistrasi,’’jelasnya.
Menurut Erwin, kalau setiap pendatang datang ke Bali dengan tujuan yang jelas dan memiliki keahlian sangat mustahil tidak diterima di Bali. Namun memang terkadang, mekanisme aturan yang benar tentang proses penataan dan penertiban penduduk tidak diterima dengan baik oleh petugas di lapangan sehingga menimbulkan tindakan arogansi. Ini salah satu eksesnya.
Akan tetapi, jika pemerintah Bali tidak melakukan proteksi dampak negatif seperti tindakan kriminalitas akan banyak terjadi. Karenanya, peranan pemerintah sebagai leader sangat dibutuhkan. Informasi yang benar harus disampaikan kepada masyarakat agar semua dapat memahami dan menjalankan mekanisme yang ada. Demikian juga pendatang, wajib ikut aturan dan melengkapi diri dengan keahlian. (Mei Nababan, Made Sutami & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Kaum Urban Memutar Ekonomi Bali

Banyaknya penduduk pendatang di Pulau Bali dinilai sangat positif mendukung perputaran roda perekonomian. ‘’Kedatangan kaum urban ke Bali, sangat menunjang perekonomian Bali terutama dalam hal penyediaan Sumber Daya Manusia (tenaga kerja), meski Bali telah memiliki banyak tenaga, namun ketersediaannya terbatas,” ungkap Drs Gede Sanica, Ak, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
Kedatangan para urban juga dikatakan dapat memacu semangat masyarakat asli Bali untuk lebih meningkatkan ketrampilan, melihat banyaknya saingan yang datang dari luar untuk mencari pekerjaan. ‘’Dengan adanya orang luar yang masuk ke Bali, kita lebih berusaha meningkatkan ketrampilan. Misalnya sebuah lowongan yang membutuhkan lima orang, namun yang melamar banyak, jelas terjadi kompetisi. Dengan adanya kompetisi, kita akan termotivasi berusaha meningkatkan kemampuan. Semakin banyak saingan, kita akan semakin terpacu meningkatkan keahlian kita. Jika saingannya biasa-biasa saja kita tidak akan terpacu untuk maju,” papar pria kelahiran Singaraja, 25 Agustus 1955 ini.
Meski ada nilai tambah, kedatangan para urban juga kadang menjadi masalah bagi pemerintah terutama pemerataan jumlah penduduk dengan lahan pekerjaan. Untuk menangani hal tersebut, Sanica berharap pemerintah mampu menjaring pendatang dari luar. Artinya, orang yang tidak punya keahlian apa-apa tidak boleh diizinkan masuk ke Bali. ‘’Sebaiknya orang yang datang ke Bali tanpa tujuan atau tanpa KTP distop lalu dikembalikan ke daerah asal,” tegasnya.
Penjaringan yang dulu pernah dilakukan Pemkab Jembrana di pintu masuk Pelabuhan Gilimanuk patut didukung semua pihak, karena disinyalir, upaya tersebut kembali mengendur akibat tidak seimbangnya mobilitas penduduk dari Jawa ke Bali dengan tenaga kerja yang hanya bekerja selama 8 jam. ‘’Penjagaan di pintu masuk kini mengendur, mungkin karena pengawasnya lelah, dengan adanya mobilitas penduduk dari Jawa ke Bali sangat tinggi selama 24 jam,” paparnya. (Made Sutami & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More

Senin, Juni 28, 2004

Beny Uleander

Free Man Vs Preman

Secara harafiah, kata preman berasal dari kata Free dan Man (Free Man); yang berarti orang yang bebas atau merdeka, dan yang mempunyai hak penuh sebagai warga negara. (Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford University Press 1969). Paruh abad ke-16, masih ada jejak-jejak orang yang mengasingkan diri dari keramaian dunia (fuga mundi) untuk mencari makna kehidupan. Mereka tinggal di hutan, gua-gua atau di padang gurun dalam kesunyian dan doa. Masyarakat abad pertengahan menghormati mereka sebagai guru kebenaran. Sebab, mereka yang tidak mau sibuk dengan urusan duniawi itu dianggap manusia bijak yang bebas dari ambisi, aroma balas dendam dan apalagi intrik politik.
Mereka ini disebut manusia bebas (free-man). Dalam kultur feodal itu, figur manusia bebas dicari dan didambakan rakyat jelata sebagai tokoh pembebas. Karena mereka tidak tahan hidup dalam situasi tertekan dan tertindas oleh ulah kerakusan tuan-tuan tanah. Tokoh free man yang mendengarkan suara rakyat dan terlibat aktif memperjuangkan hak-hak pokok rakyat inilah yang disebut bandit, yang berani berbicara atas nama kebenaran dan terus mengutuki kelaliman penguasa. Alhasil, bandit adalah tokoh intelektual, pembebas rakyat dan musuh nomor wahid kalangan bangsawan dan penjilat raja.
Dalam perjalanan sejarah ada bandit yang tidak puas di jalan ahimsa ala Ghandi. Segelintir bandit tergoda menggunakan cara-cara kekerasan untuk membela kepentingan rakyat. Mereka menghasut rakyat untuk membakar ladang, merampas tanah kaum ningrat atau membunuhnya. Akhirnya, tokoh bandit merosot menjadi penjahat berbahaya, ditakuti rakyat dan penguasa tentunya. Di Indonesia, bandit identik dengan preman yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan suka mengganggu orang lain. Kaum preman di Indonesia berkembang pesat di era 1980-an mulai dari desa sampai kota. Sepertinya ada rasa bangga dan tidak malu menyebut dirinya sebagai seorang preman. Bentrok antara preman (gangster) sering terjadi dan menyisakan virus keresahan bagi warga sekitar. Jika belum ada terapi yang jitu, Indonesia ini bisa menjadi negara Barbar. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa.
Di sudut ini, preman sudah memasuki hampir semua lembaga institusi pemerintahan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka cukup lihai mencatur permainan di Indonesia termasuk suksesi kepala daerah. Mereka lantang berbicara tentang aspirasi tapi dalam aksinya sangat tidak aspiratif. Sering berbicara tentang HAM, tapi aksinya banyak yang melanggar HAM, berbicara tentang berantas korupsi tapi justru penyubur korupsi, bicara tentang membuka lapangan kerja, tetapi banyak selingkuh dengan pengusaha demi sebuah keputusan PHK sepihak, dan seterusnya.
Untuk itu, rakyat tidak boleh malu-malu berkata bahwa ada preman yang menjadi wakil rakyat. Sebelum duduk di kursi rakyat, mereka menampilkan citra diri sebagai pembebas masyarakat dari rezim otoriter dan penguasa diktator. Dalam pidato, mereka biasa menelanjangi kebobrokan pemerintah, lalu mengajak rakyat berkoalisi mendepak penguasa dan antek-anteknya untuk membangun negara dan pemerintahan baru. Rakyat jelata yang selama puluhan tahun dibekukan kesadaran politis sering terkecoh dengan ‘ketokohan’ orator tipe ini.
Ingat! Bukankah pohon yang baik dikenal dari buahnya? Berbagai kebijakan publik yang amburadul, membingungkan dan membawa perpecahan dalam masyarakat bisa menunjukkan sejauh mana kualitas para perumus dan pengambil keputusan. Misalnya, UU Penyiaran dan UU Pendidikan Nasional yang kontroversial tetap disahkan, padahal secara substansial berpotensi membawa perpecahan. Yang tak kalah seru adalah pembatalan UU Teroris oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalih lebih mengedepan hukum formal ketimbang memperhatikan fakta riil di lapangan.
Ada yang lupa bahwa saat dua bom diledakkan di Jl Legian Kuta, Bali, ratusan nyawa melayang sia-sia, denyut nadi lokomotif industri pariwisata Bali sempat terhenti, ribuan pekerja di-PHK. Lupa, kali. Singkatnya, banyak pejabat yang tidak rela menangis dengan rakyat banyak yang sedang menangis dan tidak ingin tertawa bila rakyatnya sedang tertawa seperti kata penerima Nobel Perdamaian 1997, Mgr Carlos Ximenes Belo, SDB dalam bukunya The Voice Of Voiceless (1997).
Di Bali sendiri, belakangan ini banyak warga yang mengelus dada menyaksikan tingkah wakil rakyatnya yang lantang berjuang untuk dapat Dana Purna Bhakti atau dana pengabdian (supaya agak halus). Ketika gaung purnabhakti mendapat sorotan dan penolakan dari berbagai unsur masyarakat, mereka bukannya minta maaf malah ngotot dengan dalih pengabdian wakil rakyat harus dihargai. Ini juga dalih mereduksi pengabdian sebatas uang. Bisakah kita memilah mana yang preman dan yang benar-benar free man. Mungkin lupa bahwa mereka itu wakil rakyat, ber-Bakti dan meng-Abdi karena dan demi rakyat banyak. Jika demikian, mengapa para wakil rakyat yang terhormat dan dihormati itu menuntut untuk tetap mendapat Dana Purna Bakti.
Pribadi yang tergolong dalam tipe free-man adalah mereka yang mengabdi dan bekerja tanpa pamrih serta menunjukkan kualitas diri sebagai solving maker bukan trouble maker. Memang setiap pekerja layak menuntut upah sebab untuk hidup manusia membutuhkan biaya alias duit, tapi bukan satu-satunya, melainkan dari semua yang disabdakan Tuhan. Tetapi besarnya angka Dana Purna Bhakti menunjukkan kurangnya kepekaan wakil rakyat akan situasi kemiskinan yang membelenggu rakyat akibat terpaan krisis ekonomi.
Kriteria seorang pejabat itu preman adalah saat kepentingan rakyat banyak terang-terangan diabaikan dan dirugikan. Contoh, pencemaran teluk Buyat yang diketahui ada pejabat yang super cuek dan mengeluarkan statemen bahwa kondisi itu lumrah dalam dunia industri. Menyakitkan sekali, kala mendengar mereka berbicara tanpa beban dalam dialog interaktif di TV.
Sudah saatnya, individu dalam masyarakat harus peka nurani --berani berbicara atas nama kebenaran guna melawan para ‘preman’ yang berbicara atas nama perut. Di tikungan ini, kehadiran seorang preman jalanan jelas meresahkan masyarakat tetapi keberadaan dan keberanian preman di lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif justru akan meruntuhkan negara. KPO/EDISI 63
Read More
Beny Uleander

Sidoarjo Sasar Pabrik Dengan Ramuan Pak Oles

Kualitas seorang pemimpin ditunjukkan bukan pada saat duduk gagah dengan dasi melintang di belakang meja tetapi harus mengambil keputusan penting di saat-saat genting, meski keamanan dan kepentingan pribadi menjadi taruhan. Di situlah kebesaran seorang pemimpin terkuak. Minimal, kualitas pemimpin seperti tertera di atas sedang diasah Hasan Basri, Kepala Unit PT Karya Pak Oles Tokcer Sidoarjo, Jatim. Pria berpenampilan kalem ini diam-diam memendam ambisi menjadi pendobrak pertama lokasi-lokasi pemasaran strategis di Sidoarjo yang belum tergarap.
Pengembangan sebuah usaha marketing di suatu daerah baru perlu dirancang pemetaan lokasinya. Sebelumnya dibuat penjajakan lapangan dan perhitungan untung ruginya. Sejak dipercaya memimpin Unit Sidoarjo, Basri mulai meneropong potensi-potensi pasar di sekelilingnya, apalagi Sidoarjo adalah rumah aneka pabrik dan industri, dan tentu menjadi salah satu kawasan yang patut disasar.
“Kog Anda begitu yakin,” tanya wartawan. Basri menjawab, selama ini kru SPG dan Team Leader (TL) memasarkan produk Ramuan Pak Oles dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor dan dari suatu pertemuan arisan ke pertemuan lain. Hasilnya lumayan, tetapi mengingat adanya target yang harus dicapai, mau tidak mau harus cepat membuat pilihan.
Area pabrik sebagai pilihan utama mengingat di lokasi tersebut menjadi tempat pertemuan dan interaksi kaum buruh dari berbagai daerah. Bukan tidak mungkin, Ramuan Pak Oles akan menjadi cinderamata bagi keluarga ketika mereka mudik pada hari raya keagamaan. Selain itu, keunggulan utama ramuan asli putra Bali ini terletak pada bahan bakunya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan telah terbukti khasiatnya. Masyarakat kini lebih tertarik mengkonsumsi obat-obatan tradisional yang tidak mengandung bahan kimiawi.
Berbekal 3 TL dan 60 SPG, Hasan Basri menargetkan di bulan mendatang semua lokasi pabrik telah ‘dibombardir’ 27 produk Ramuan Pak Oles itu. Apalagi banyak orang di sini belum begitu kenal dengan ramuan tradisional Pak Oles. Ini kesempatan membidik peluang pasar. Tentunya sejarah akan mencatat keputusan seorang Hasan Basri tepat dan patut diacungi jempol. Selamat berkarya. (Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)
Read More

Minggu, Juni 27, 2004

Beny Uleander

Karyawan Perlu Miliki Sense Of Belonging

Tradisi pemantapan karyawan terus dilakukan secara rutin sebagai sarana merekat dan membangun hubungan personal dengan perusahaan. Pembekalan tentang sejarah perusahaan, spiritualitas, Semberani dan perbaikan menejemen tetap diberikan guna menyadarkan tingkat emosional dan motivasi untuk lebih giat menjalankan tugas yang diemban.
Berdirinya perusahaan ini melewati masa pencarian identitas, perintisan, pengembangan pasar dan investasi. Masa pencarian identitas adalah waktu studi Pak Oles; sang pendiri, yang teramat panjang mulai masa kuliah di Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1980-an hingga Program S1 di Jepang. Tahap perintisan dimulai pada tahun 1995, dengan usaha mengembangkan resep tradisional pengobatan secara turun temurun dari Lontar Usadha Bali dan diproses dengan Teknologi EM (Effective Microorganism), yang menghasilkan berbagai produk Ramuan Pak Oles.
Ramuan Pak Oles adalah Ramuan Tradisional Bali yang terbuat dari kombinasi tanaman rempah yang berkhasiat obat. Ramuan Pak Oles diproduksi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) Bokashi Bali di Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng. Saat ini, Ramuan Pak Oles telah dipasarkan di seluruh Pulau Bali, beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri.
Tahap pengembangan pasar dimulai dengan pembukaan berbagai divisi usaha, perekrutan karyawan, pengembangan pasar dan pendirian kantor cabang di berbagai daerah di Indonesia serta penetapan target. Sedangkan tahun 2000-2005 merupakan tahun investasi, pemantapan struktur kerja dan pembenahan menejemen perusahaan.
Untuk mendukung eksisnya perusahaan ini, tidak berlebihan jika pemilik perusahaan ini meminta agar setiap karyawan perlu miliki sikap sense of belonging terhadap perusahaan. Disadarinya, setiap karyawan adalah pribadi yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri yang harus dikembangkan demi kemajuan perusahaan.
Kepintaran spiritual adalah kemampuan menggabungkan kecerdasan intelektual dan emosional. Spiritualitas semberani yang ditawarkan Pak Oles adalah seperangkat sikap hidup yang terdiri dari keseimbangan (sejati, baik dan sabar) dan keberanian (cepat, tegas dan tanpa pamrih).
Mengapa harus semberani, padahal masih banyak jalan spiritual lain yang bisa ditempuh? Jawabannya, ada dalam pepatah Latin; nemo dat non quam habet. (Tak seorangpun dapat memberi apa yang tak dimilikinya). Sikap Semberani merupakan hasil permenungan dan pengalaman konkrit Pak Oles dalam tahap pencarian identitas, perintisan usaha, pengembangan pasar dan investasi. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Karyawan Perlu Miliki Sense Of Belonging

Tradisi pemantapan karyawan terus dilakukan secara rutin sebagai sarana merekat dan membangun hubungan personal dengan perusahaan. Pembekalan tentang sejarah perusahaan, spiritualitas, Semberani dan perbaikan menejemen tetap diberikan guna menyadarkan tingkat emosional dan motivasi untuk lebih giat menjalankan tugas yang diemban.
Berdirinya perusahaan ini melewati masa pencarian identitas, perintisan, pengembangan pasar dan investasi. Masa pencarian identitas adalah waktu studi Pak Oles; sang pendiri, yang teramat panjang mulai masa kuliah di Fakultas Pertanian Unud pada tahun 1980-an hingga Program S1 di Jepang. Tahap perintisan dimulai pada tahun 1995, dengan usaha mengembangkan resep tradisional pengobatan secara turun temurun dari Lontar Usadha Bali dan diproses dengan Teknologi EM (Effective Microorganism), yang menghasilkan berbagai produk Ramuan Pak Oles.
Ramuan Pak Oles adalah Ramuan Tradisional Bali yang terbuat dari kombinasi tanaman rempah yang berkhasiat obat. Ramuan Pak Oles diproduksi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) Bokashi Bali di Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng. Saat ini, Ramuan Pak Oles telah dipasarkan di seluruh Pulau Bali, beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri.
Tahap pengembangan pasar dimulai dengan pembukaan berbagai divisi usaha, perekrutan karyawan, pengembangan pasar dan pendirian kantor cabang di berbagai daerah di Indonesia serta penetapan target. Sedangkan tahun 2000-2005 merupakan tahun investasi, pemantapan struktur kerja dan pembenahan menejemen perusahaan.
Untuk mendukung eksisnya perusahaan ini, tidak berlebihan jika pemilik perusahaan ini meminta agar setiap karyawan perlu miliki sikap sense of belonging terhadap perusahaan. Disadarinya, setiap karyawan adalah pribadi yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri yang harus dikembangkan demi kemajuan perusahaan.
Kepintaran spiritual adalah kemampuan menggabungkan kecerdasan intelektual dan emosional. Spiritualitas semberani yang ditawarkan Pak Oles adalah seperangkat sikap hidup yang terdiri dari keseimbangan (sejati, baik dan sabar) dan keberanian (cepat, tegas dan tanpa pamrih).
Mengapa harus semberani, padahal masih banyak jalan spiritual lain yang bisa ditempuh? Jawabannya, ada dalam pepatah Latin; nemo dat non quam habet. (Tak seorangpun dapat memberi apa yang tak dimilikinya). Sikap Semberani merupakan hasil permenungan dan pengalaman konkrit Pak Oles dalam tahap pencarian identitas, perintisan usaha, pengembangan pasar dan investasi. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Dulu Kernet Bemo, Kini Pengusaha Sukses

Zaenal Thayeb
Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan selain terkenal sebagai pelaut ulung, juga perantau yang gigih. Banyak perantau asal Bugis menjadi orang terkenal dan sukses. Salah satu contoh, Zaenal Thayeb yang meniti hidupnya di tanah rantau mulai dari nol sampai menjadi pengusaha sukses di Bali. Kunci kesuksesan laki-laki yang kini banyak bergerak di bidang jasa terletak pada etos kerja dan semangat pantang menyerah.
Pria kelahiran Polewani Mamasa (Polmas) Sulsel, 25 April 1957, sejak kecil terbiasa dengan bekerja keras baik di pasar atau toko orang tuanya. Selain rajin, Thayeb yang beranjak dewasa dikenal sebagai anak yang nakal. Di bangku SD, justru menjadi murid paling nakal bahkan kian memuncak ketika duduk di bangku SMP. Ia merantau ke Balikpapan tahun 1970 dan bekerja serabutan mulai dari kernet bemo, kuli pasar sampai penjual baju.
Dengan tangan hampa, Thayeb merantau lagi ke Samarinda dengan modal nekat, ia jalan kaki selama dua hari, dua malam menyusuri hutan dan akhirnya menemukan pabrik kayu di pedalaman Samarinda. Di pabrik kayu milik orang Malaysia, Thayeb bekerja sebagai penjaga bolduser dan penarik kayu selama 1 tahun.
Thayeb sempat menjadi tukang pipa di perusahaan minyak. Lagi-lagi merasa tidak berhasil, dengan uang pas-pasan Thayeb kembali ke kampung halaman. Masih di tahun yang sama, Thayeb memilih berangkat ke Bali. Kebetulan salah satu kakaknya sudah duluan berada di Bali. Dalam waktu yang tidak lama Thayeb mulai dikenal di sepanjang pantai Kuta, sebagai penjaja souvenir. Mulai dari perhiasan silver, kain pantai dan apa saja sesuai dengan pesanan turis. Setelah terkumpul modal cukup, Thayeb mulai membuka toko kecil khusus souvenir silver di Jl Raya Pantai Kuta.
Antara 1972-1973 di Bali, peluang usaha terbuka lebar asalkan ada kemauan dan kerja keras. Bertambah tahun, usaha Thayeb mulai mengalami peningkatan. Bermodal sebuah sepeda motor tua dan Jeep tahun 1953, Thayeb mengambil barang sendiri di Celuk, Gianyar dan menjualnya di Kuta dengan untung lumayan. Thayeb mulai mengumpulkan sekitar 100 anak muda agar menjadi pedagang acung. Mereka mampu menjual ribuan cincin atau barang silver ke turis.
Pemilik Villa Lumbung dan Villa Ombak di Gili Trawangan Lombok seperti menjadi saksi hidup perkembangan Bali. Tahun 1978, keadaan Bali masih sangat memprihatinkan. Jalan By Pass Sanur masih ditimbun tanah, jalan di Kuta masih dalam kondisi aslinya dan terpisah dari Legian.
Dengan modal Rp 30 juta, Thayeb membuka toko silver yang lebih besar dan pekerjakan 2 orang pengrajin perak. Dalam waktu yang relatif singkat disertai keuletan, keinginan untuk maju, dan didukung pengalaman keliling dunia sebagai pelaut serta bakat seninya yang kental, Thayeb mampu menghasilkan produk kerajinan perak dengan corak dan desain yang khas. Mulai 1980-an usaha silvernya diburu konsumen dari Jerman, Prancis, Italia, Amerika, beberapa negara Asia dan Australia. Akhirnya, Thayeb mulai dikenal di kalangan pengusaha sebagai pedagang cinderamata.
Kini, Thayeb menggalang sistem kemitraan dengan 74 pengrajin di Singapadu, Gianyar dan di luar Bali (Pandakan, Bangil, Gempol, Pacitan, Porong (Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) dan Sukabumi (Jawa Barat) sebagai pengrajin batu aji, dengan total pengrajin 200 pengrajin atau 1000 orang. Thayeb juga pernah menerima penghargaan Upakarti dari mantan Presiden Soeharto pada tahun 1989, sebagai perintis pengembang industri. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

Budi Isnaningsih Meliana
Ungkapan, nasibmu ada di tanganmu sendiri menjadi cambuk bagi dara manis Budi Isnaningsih Meliana meniti karir di dunia kesehatan. Jangan mengira gadis berusia 19 tahun ini sedang menempuh pendidikan di sekolah keperawatan atau ingin menjadi seorang dokter. Ia salah seorang staf administrasi dan penjaga konter Pak Oles di Unit Perak, Surabaya.
Ketika ditanya mengapa tertarik memasarkan aneka produk Ramuan Pak Oles, Meliana, begitu diakrabi, mengaku sejak diterima bekerja, ia langsung jatuh cinta dengan pekerjaan barunya. Dara kelahiran Mojokerto, 19 Desember 1985 ini menyatakan kebanggaannya bisa bergabung dengan perusahaan yang bergerak di bidang obat-obatan tradisional. Pasalnya, sejak kecil ia memendam cita-cita menjadi perawat. Di perusahaan ini, ia menemukan impian masa kecilnya yakni mengabdi sesama lewat dunia kesehatan. Meliana bertambah yakin dan optimis akan masa depannya sejak mengetahui produk kesehatan Ramuan Pak Oles terbuat dari bahan alami dan berkhasiat.
Kenyataan inilah yang membuat gadis berdarah Cina dan Madura ini mematangkan hasrat hatinya sebagai kru PT Karya Pak Oles Cabang Surabaya. ‘’Untuk sementara, saya belajar dulu sebagai tenaga admin di sini. Kalau sudah matang dan mengerti betul produk-produk Pak Oles, saya mau juga menjadi SPG Pak Oles,” ujarnya tersenyum.
Selama bertugas di unit Perak, dirinya menimba pengalaman konkrit tentang membangun kerja sama tim, antar unit dan kiat-kiat riil menjual Ramuan Pak Oles. Untuk sementara, ramuan yang paling digemari konsumen adalah Minyak Oles Bokashi, Madu Jamur, Madu Geruh dan Saribing. Meliana selamat berkarya. Siapa saja berhak membangun masa depannya di atas keyakinan dan kerja keras. Proficiat! (Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)
Read More

Selasa, Juni 15, 2004

Beny Uleander

Pertikaian Seputar Perut

Karl Marx, pria kelahiran Trier, Jerman yang populer dengan ‘Sosialisme Ilmiah’, menuangkan intisari pemikirannya dalam Das Kapital (1867) yang membingungkan kawan dan lawannya. Ia terobsesi bahwa kemakmuran suatu masyarakat bakal tercipta ketika unsur kapitalisme seperti kepemilikan modal dan penguasaan sumber-sumber produksi atas nama pribadi atau kelompok swasta dipangkas tuntas.
Pendapat Marx ini berangkat dari keprihatinannya akan realita kemiskinan yang membelit masyarakat kecil. Kaum bangsawan Eropa begitu bangga dengan keningratannya dan puluhan hektar tanah yang dimiliki. Kedudukan sosial mereka kian melambung berkat akses kuat dalam semua bidang kehidupan baik politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama. Rakyat jelata seperti anjing piaraan yang menunggu jatuhnya remah-remah nasi dari meja tuannya.
Bagi Marx, revolusi sosial adalah solusi terampuh menghapus struktur sosial dan menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas. Ini sebuah jalan tunggal menghalau kemiskinan dan kemelaratan. Patut disayangkan, Marx sampai hembusan napas terakhir tak sempat menikmati realisasi idenya tersebut bahkan ia mati di London, dalam kemiskinan yang mengenaskan.
Juga para pengikut Marxisme harus dengan rendah hati mengakui, sehebat apapun sebuah ideologi maupun mazhab jika gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat, cepat atau lambat akan tereliminasi dalam perjalanan sejarah dan waktu. Memang terbukti, negara-negara komunis seperti Uni Sovyet bangkrut dan mati muda. Cina sendiri walau berpegang pada dalil-dalil Marxisme tetapi tidak bersikap puritan menata perekonomian negaranya.
Ada kolaborasi elegan antara ortodoksi masyarakat tanpa kelas dan kebebasan individu mengejar kekayaan dan kesejahteraan pribadi, asalkan sumber-sumber produksi dikuasai dan diawasi negara. Sikap politik ini urgen untuk memancing masuknya investor ke negeri tirai bambu ini dan mencegah perut rakyat kosong tanpa makanan.
Adakah hal yang istimewa berhasil ditorehkan seorang Marx dalam menggagas dasar-dasar kemanusiaan yang universal? Ada! Marx seorang pemikir besar yang melahirkan ide marxisme sebagai sebuah ‘teriakan’ dan ‘peringatan’ telah matinya rasa senasib dan sepenanggungan antar sesama manusia. Marx kecewa terhadap kehadiran agama yang dianggapnya cuma membius umatnya dengan semangat ketabahan, mati raga dan asketisme sebagai jalan spiritual, sementara realitas kemiskinan umat dibiarkan.
Hanya saja, Marx jatuh dalam pandangan ekstrim sampai menolak kehadiran agama yang merupakan sarana membangun hubungan antara yang ilahi dengan manusia atau sumber inspirasi membangun tatanan sosial yang berlandaskan moral, etika dan hati nurani. Minimal, Marx berhasil menjewer telinga tokoh agama dan penguasa yang tuli dengan kemiskinan dan mencabik egoisme yang mengakar kuat dalam diri manusia.
Terlepas dari debat kusir ideologi marxisme yang diharamkan Orde Baru dan memperoleh stigma sebagai bahaya laten, kita mesti bersikap arif bahwa keprihatinan dan teriakan Marx harus juga menjadi kegelisahan dan teriakan kita kala urusan perut menjadi wacana yang memalukan di negeri yang berlimpah susu dan madu. Negeri ini kaya akan hasil alam dan memiliki tanah subur berkat curahan hujan yang tinggi, plus harta karun lautan yang luas terbentang dari Sabang-Merauke.
Tetapi mengapa kita masih mengimpor beras dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan pokok si Yoyo dan si Cecep agar bisa berangkat sekolah dengan perut kenyang? Mengapa anak-anak negeri yang berapi-api meneriakan slogan nenek moyangku orang pelaut, mengimpor garam dari negeri tetangga? Seharusnya kita seperti induk ayam yang mengerami telurnya di atas tumpukan jerami.
Kenyataan pahit ini tidak menjadi keprihatinan pemerintah dan dikritisi sosiolog Ignas Kleden sebagai aktus penyangkalan diri yang sempit dan picik. Di satu sisi, pemerintah mengutuk ajaran marxisme dalam segala bentuk. Pada sisi lain, pemerintah memelihara kemiskinan sistematis dan terstruktur. Buktinya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan. Bayangkan saja saat ini rakyat Indonesia harus memikul beban utang luar negeri yang begitu besar.
Para koruptor yang melarikan uang negara dibiarkan bebas berkeliaran. Satu hal yang pasti, kemiskinan terstruktur adalah bahaya laten lahirnya revolusi sosial bila pemerintah tetap bersikap apatis dan kaum elit politik termasuk para capres-wapres cuma berusaha membuktikan sayalah yang terbaik. Fatalnya, korupsi yang semula dilakukan kalangan eksekutif beralih ke para wakil rakyat. Alhasil, rakyat dikepung jaringan koruptor.
Perbaikan ekonomi memang penting tetapi lebih penting adalah upaya penelitian tentang akar utama krisis ekonomi Indonesia dengan mendalami sebab-sebab, kaitan-kaitannya, faktor-faktornya dan apa yang perlu dibuat sekarang agar krisis ini tidak kembali terulang di masa depan. Justru yang terjadi adalah pertikaian ‘soal perut’, yakni kepentinganku yang lebih utama, keluargaku harus dinomorsatukan dan partaiku yang paling reformis.
Ilmu dan pengetahuan (baca: kaum teknokrat) diprodusir untuk urusan kekuasaan dan menumpuk kekayaan pribadi. Segelintir orang puas mengisi perut sendiri sementara saudara sebangsanya menjerit kelaparan. Namun ketika negara berada dalam kondisi yang terpuruk justru rakyat kecil yang datang sebagai penyelamat. Lihat saja saat krisis ekonomi melanda negeri ini, usaha berskala besar langsung gulung tikar tetapi rakyat yang bergerak di sektor riil menjadi penyelamat. Memang saat ini dunia usaha kecil dan menengah (UKM) kekurangan modal uang dan akses di jaringan pasar internasional tetapi kita lihat saja apa yang dibuat negara?
Apabila kaum aristokrat (baca: wakil rakyat) terus terbuai dengan aroma kekuasaan yang ada di tangan mereka, para elit politik terus berlomba menciptakan citra tanpa ethos pengabdian dan pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tanpa merinci usaha-usaha konkrit dengan warna pembangunan asal tambal sulam, maka jeritan kelaparan rakyat miskin, yang pernah hinggap di kuping Karl Marx, berubah menjadi jeritan ketidak percayaan rakyat.
Cepat atau lambat, negara yang menolak individualisme tetapi secara telanjang mata menganut prinsip tersebut, republik ini akan runtuh bukan karena perbedaan ideologi tetapi hanya karena pertikaian soal perut. Keprihatinan Marx perlu dicerna tetapi yang perlu dipangkas demi kesejahteraan rakyat bukan para pemilik modal dan kaum partikelir tetapi keserakahan dan kerakusan. Mengutip Gandhi, alam sudah cukup menyiapkan segala kebutuhan manusia tetapi tidak untuk keserakahannya. Pantas, Indonesia negeri yang kaya-raya tetapi rakyatnya miskin melompong! (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)
Read More

Senin, Juni 14, 2004

Beny Uleander

Mental dan Ideologi, Kemiskinan Terdahsyat Di Dunia

Kemiskinan terdahsyat bukanlah kemiskinan material, tetapi kemiskinan akan mental dan ideologi. Kenyataan ini menjadi inspirasi bagi Dr Ir IGN Wididana, M.Agr untuk merintis usaha industri kecil obat tradisional yang lebih dikenal dengan sebutan Ramuan Pak Oles. Namun semua usaha tersebut patut ditopang dengan kerja keras, percaya diri dan memiliki integritas moral yang tinggi, jujur dan berani.
Menurut pria yang diakrabi Pak Oles ini, visi dan misi perusahaan lahir dari sebuah spiritualitas yang menjadi sumber inspirasi, kekuatan dan pembentukan karakter pribadi maupun perusahaan. Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yakni spiritum yang berarti hembusan napas atau roh dan semangat. Spiritualitas adalah suatu semangat, cita-cita bersama yang menjadi landasan berpijak setiap individu maupun kelompok organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan.
Maju mundurnya sebuah perusahaan sangat tergantung pada kekuatan spiritualitas yang membentuk karakter dan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Aspek ini meliputi ethos yaitu karakter moral yang menjadi dasar bagi kemampuan melakukan pendekatan (sejati, baik dan sabar), pathos kemampuan untuk menyentuh perasaan guna menggerakkan orang secara emosional dan logos kemampuan untuk memberikan alasan yang meyakinkan atas sebuah tindakan, guna menggerakan orang secara intelektual. Tiga hal ini terpatri dalam sosok sederhana seorang Pak Oles.
Pak Oles tak cuma lihai meramu obat-obatan tradisional, ia juga secara elegan merakit dialektika kesejahteraan material dan spiritual dalam 'kemasan produk' Spiritualitas Semberani (seimbang dan berani). Spiritualitas ini dikembangkan melalui metode latihan pernapasan atau meditasi yang dilakukan secara kontinyu. Meditasi tidak lain adalah kemampuan pemusatan dan pengendalian pikiran atau fokus. "Berpikir besar, hasilnya akan besar. Sebaliknya berpikir besar tanpa fokus akan sia-sia," ujar Pak Oles.
Pemusatan kekuatan pikiran membantu seseorang dalam menentukan agenda kerja setiap hari termasuk hari ini. ''Sasaran apa yang mau dicapai dan hal mana saja yang harus dihindari agar sasaran itu bisa tercapai. Dengan demikian kesuksesan akan diperoleh. Ini adalah suatu teknik memanfaatkan energi alam yang dikaruniakan Tuhan dan dipadukan dengan sikap hidup yang baik, pemusatan pikiran dan kebijaksanaan. Hasilnya, seseorang akan melihat kesejahteraan materi dan rohani sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan,'' tegas Pak Oles.
Dengan keseimbangan moral ini, siapa saja akan termotivasi membangun diri dan perusahaannya dengan tetap berdasarkan keyakinan, semangat dan kerja keras. Tentunya, cara demikian merupakan suatu bentuk pewartaan bagi sesama akan kehidupan yang seimbang antara kesejahteraan rohaniah dan material. Inilah Spiritualitas Semberani yang ditanamkan Pak Oles dalam diri setiap karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya, Bali, Jawa Timur, Jakarta, Bandung, Sulawesi Selatan, NTB dan Bandar Lampung. (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)
Read More

Kamis, Juni 10, 2004

Beny Uleander

Membuat Rumah Buruh Di Tempat Kerja

H Machfud
Pembangunan infrastruktur di wilayah Denpasar dan sekitarnya cukup pesat belakangan ini. Ini terlihat dari banyaknya permintaan akan batako, paving blok, tegel, bis beton dan sanitair yang terus meningkat. Hal ini dikemukan H Machfud, seorang pengusaha industri kecil di bidang bangunan yang mendirikan usahanya di Jl Raya Sesetan, depan Pura Gajah.
H Machfud mengaku semula ia mendirikan pabrik tegel pada tahun 1980-an, namun sejak produk keramik digemari konsumen perlahan-lahan pesanan tegel menurun. Sekitar 17 pabrik tegel di Kota Denpasar tutup tetapi ia tetap bertahan dengan mengandalkan order batako maupun papin dari mitra bisnisnya yang bergerak di proyek pembangunan fisik. Selain mencetak berdasarkan permintaan konsumen, ia juga secara kreatif membuat pot bunga, gorong-gorong, meja kompor, wastafel, bak mandi, kursi, loster, pagar jaro beton dan talang beton.
Bahan bangunan yang paling banyak dipesan adalah batako dan papin. Ia menjual batako per buah Rp 900 dan papin berukuran 5 cm Rp 400/ buah, 6 cm Rp 460/buah dan 8 cm Rp 560/buah, sedangkan tegel untuk 1 m Rp 25.000. Usahanya ditunjang dengan 6 mesin cetak tegel dan batako yang terbuat dari hidrolik. Ia mengaku keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan sangat kecil namun ia berusaha menjaga kualitas produk agar tetap dipercaya para langganannya.
Meski umurnya sudah mencapai 80 tahun, H Machfud kelahiran Jember, Jatim, nampak menikmati usahanya tersebut. Ia datang ke Bali pada tahun 1950 dan sempat bekerja sebagai ahli perawatan mesin ketik, kalkulator dan mesin stensil di lingkungan Kodam Udayana dan bank se Nusa Tenggara. “Saya tetap bertahan dengan percetakan ini karena ini sudah menjadi pekerjaan saya sejak tahun 1974,” ujar suami Hj Kustiatun.
Apalagi kini anak-anaknya yang berjumlah dua belas orang turut mendukung usahanya. Ia juga pekerjakan karyawan part-time, bekerja berdasarkan pesanan. Uniknya, karyawan diberikan rumah huni di lokasi kerja. Ada 26 kamar untuk karyawan yang sudah berkeluarga dan sebuah gudang bagi karyawan yang bujang.
Karyawannya merantau ke Bali tanpa berbekal keterampilan tertentu. Ia membantu menampung mereka di tempat usahanya dan menyalurkan pekerjaan bagi mereka. Ia juga mengajarkan mereka bagaimana cara mencetak batako dan papin. Mereka bukan karyawan tetap di perusahaan. Bila ada proyek yang membutuhkan tenaga kerja, kaum pria dilibatkan.
“Di sini lebih banyak ibu-ibu yang membantu saya sedangkan suami mereka bekerja di proyek. Kalau semua kerja di proyek, saya minta bantuan tenaga mereka mencetak batako pada pagi hari mulai jam lima sampai jam enam. Lalu jam delapan baru mereka berangkat ke proyek,” jelasnya.
Soal upah, Machfud memberikan berdasarkan orderan bukan standar gaji pokok. Hanya, dirinya selalu berusaha memperhatikan kebutuhan pokok mereka dan mencari informasi peluang kerja di berbagai proyek pada saat pesanan sepi. (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)
Read More

Selasa, Juni 08, 2004

Beny Uleander

Ramuan Pak Oles Mampu Rebut Konsumen Di Bandung

Salah satu upaya memajukan dunia usaha adalah menyiapkan tenaga-tenaga terampil agar memiliki keahlian dalam mengembangkan bidang tugas mereka. Bila pelatihan dan pembekalan dilakukan secara kontinyu maka kualitas SDM menjadi faktor penunjang kesuksesan perusahaan. Inilah yang sedang dilakukan PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Bandung di bawah pimpinan Ipin Sardjono.
Menurut Sardjono, kehadiran produk obat tradisional Ramuan Pak Oles, yang terbuat dari bahan-bahan alami, ternyata mampu merebut simpati masyarakat di Kota Kembang Bandung dan Garut. Alasannya, produk Ramuan Pak Oles selain alami juga terkenal murah dan berkhasiat. Padahal Cabang Bandung baru dibuka April dan Unit Garut, di Jl Pahlawan No 26, pada Februari lalu. Ini dapat dilihat dengan tingginya angka penjualan per Mei lalu. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya tenaga SPG.
Disebutkan, sekarang Bandung memiliki 30 orang SPG dengan penjualan per SPG/bulan Rp 3 juta dan terendah Rp 1 juta. Untuk mendongkrak target penjualan pada Juni, kantor yang cabang yang terletak di Jl Terusan Pasir, Koja No 51 A, Bandung ini, masih fokus pada perekrutan dan pembinaan tenaga SPG. Materi pelatihan yang diberikan meliputi pengenalan dan penguasaan terhadap fungsi setiap produk Ramuan Pak Oles. Selain motivasi, para SPG dibekali tata cara pemasaran dan kiat membangun dialog yang meyakinkan dengan konsumen.
Tujuan jangka panjang pelatihan, lanjut Sarjdono, agar dapat terbentuk team leader yang berpengalaman dan memiliki kompetensi. Semula, ungkapnya, mereka tidak yakin kalau produk ramuan Pak Oles akan laris manis di pasaran lokal dalam waktu yang relatif singkat. Ternyata setelah mempromosikannya ke puskesmas, rumah sakit, sekolah, perkantoran, pasar dan dari rumah ke rumah animo masyarakat begitu tinggi.
Diakuinya, produk Ramuan Pak Oles yang paling diminati konsumen adalah Minyak Oles Bokashi, Saribing, Salep Ratun dan Madu Sekar. ''Sedangkan produk baru Massker Madu Hitam bakal meledak di pasaran. Terbukti, baru dijual langsung laku dan ini sebuah respon yang baik. Di bidang promosi, cabang Bandung masih mengandalkan informasi di media ini. Memang belum ada kesulitan berarti yang dihadapi. Hanya saja, tutur Sardjono, ke depan perlu ada persiapan sinergis di semua lini usaha, entah pembenahan bagian manajemen maupun peningkatan kualitas SDM setiap personil. (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)
Read More

Senin, Juni 07, 2004

Beny Uleander

Kesulitan Modal Bukan Akar Kemerosotan UKM

Wawancara Ir I Gusti Ngurah Adyana (Ketua Inkindo Bali)

Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, berbagai perusahaan berskala besar langsung gulung tikar. Sebaliknya sektor riil, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tetap bertahan di tengah keterpurukan ekonomi. Ini bukan berarti UKM sama sekali tak mempunyai masalah.

Fakta di lapangan, banyak UKM juga harus menutup usahanya karena kekurangan modal. Padahal, menurut Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Bali, Ir I Gusti Ngurah Adyana, masalah kesulitan modal usaha bukan akar tunggal kemerosotan dunia UKM di wilayah Bali dan Indonesia pada umumnya. Hanya saja hal itu yang sering muncul ke permukaan. Sesungguhnya masih ada sebuah faktor krusial sekaligus faktor laten yang dihadapi negeri ini sebagai penyebabnya. Ikutilah petikan wawancara berikut ini.

Sekarang banyak industri kecil yang terpaksa gulung tikar karena kesulitan modal. Komentar Anda?

Saya melihat akar keterpurukan sektor riil dan usaha kecil menengah saat ini bukan pada masalah ada tidaknya modal usaha. Faktor kekurangan modal ini seringkali mencuat ke permukaan, padahal bukan sebagai penyebab utama. Hal yang sebenarnya terjadi adalah faktor ketakseimbangan. Konsep keseimbangan ini diabaikan dalam dunia usaha kecil sehingga mereka mau tidak mau harus gulung tikar. Ketakseimbangan ini terjadi juga dalam dimensi hidup sosial.

Maksud Anda soal konsep keseimbangan itu?

Kita harus melihat dengan penalaran logika bahwa krisis ekonomi yang merambat pada krisis multidimensi yang dihadapi bangsa kita saat ini karena penekanan pada bidang politik yang berlebihan dan berat sebelah. Padahal, dimensi politik merupakan salah satu dimensi hidup bernegara. Masih ada dimensi sosial lain yang menunjang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, agama dan adat istiadat. Kalau pembangunan secara menyeluruh dan seimbang di semua aspek kehidupan, krisis ekonomi saat ini bisa diatasi.

Lalu apa hubungannya dengan keterpurukan UKM?

Saya menilai usaha-usaha kecil yang gulung tikar karena tidak memiliki konsep keseimbangan antara produksi dan modal yang dimiliki atau antara manajemen dan daya beli pasar. Sebenarnya, UKM tak perlu bangkrut bila mereka mampu mengelola aset yang dimiliki dengan konsep keseimbangan. Konkritnya, jika modalnya masih kecil, produksinya pun harus sesuai modal yang ada.

Sebenarnya apa yang menjadi dasar pemikiran Anda?

Saya seorang konsultan. Tentu saja pengamatan saya harus secara holistik bukan kasus per kasus. Sebab dunia UKM itu murni dunia bisnis sehingga patokan bisnis yang harus dipakai. Saya berani katakan kita telah melakukan blunder (kesalahan sendiri –Red). Sudah semestinya, prinsip dasar kesimbangan dan solvabilitas perusahaan diperhitungkan dengan cermat. Sebab usaha yang berskala kecil amat sensitif terhadap kondisi perekonomian yang ada.

Artinya, harus ada mekanisme evaluasi kinerja perusahaan?

Ya, saya sependapat. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah dunia usaha yakni modal usaha, produksi, pasar, manajemen, akuntasi atau pembukuan dan sumber daya manusianya. Modal memang penting tetapi bukan segalanya. Ini kenyataan riil di lapangan. Ada perusahaan yang memiliki modal kecil tetapi tetap berjalan karena prinsip keseimbangan yang dipakai.

Jadi pemberdayaan UKM sebatas mengucurkan dana lunak?

Inilah kekeliruan kita selama ini. Pemerintah perlu melihat bahwa orientasi setiap perusahaan itu berbeda. Ada perusahaan yang lebih mengutamakan prinsip pragmatis materialistis dengan mengejar keuntungan saat ini tanpa mengupayakan usaha memperluas jaringan pemasaran, meningkatkan mutu produk dan efisiensi kerja karyawan. Perbedaan ini menentukan karakteristik sebuah perusahaan. Karena itu, bantuan modal memang penting tetapi sebelum itu pemerintah harus membuat sebuah diagnosa untuk mengetahui letak kemacetan sebuah UKM. Kalau tak ada pembenahan pada sistem manajemennya, saya yakin industri kecil itu akan bangkrut. Jadi pemerintah perlu melakukan pendampingan, pemberdayaan dan terakhir baru memberikan bantuan modal.

Mengapa pembenahan manajemen perusahaan menjadi target utama dalam upaya pemberdayaan UKM ketimbang bantuan modal?

Kita lihat sendiri kenyataan di lapangan. Memang banyak pengusaha kecil yang kekurangan modal usaha. Tetapi itu bukan halangan utama karena mereka berani meminjam uang di rentenir dengan bunga mencapai 10%. Kita perlu mencari tahu kenapa mereka lari ke rentenir bukan ke bank. Nah, hal ini yang harus diautopsi oleh pemerintah sebelum melangkah lebih jauh dalam upaya pengembangan UKM di Indonesia ini.

Mereka ke rentenir karena bank menetapkan berbagai persyaratan dan agunan yang sulit mereka penuhi?

Saya kira wajar bila bank bersikap demikian, karena bank berorientasi pada keuntungan dan menjaga peredaran uang. Kalau kreditnya macet tentu saja bank itu terancam dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Demikian juga soal agunan. Jangan kita berasumsi bahwa sektor riil sukar menerima pinjaman hanya karena tak punya agunan. Sebaliknya kita harus membangun pola atau kerangka berpikir visional bagaimana menata sebuah perusahaan yang benar-benar bank-capable. Jadi di sini harus ada pola pendampingan dari pemerintah yang terarah dan perpijak pada karakteristik perusahaan itu sendiri. Saya yakin bila aspek ini dibenahi bank berani mengucurkan bantuan buat pengusaha di sektor riil.

Langkah apa yang perlu ditempuh pemerintah untuk program pemberdayaan dunia UKM?

Menurut saya, pemerintah perlu mendampingi usaha-usaha kecil dalam hal penataan manajemen perusahaan. Sebenarnya manajemen itu memiliki arti dan pengertian yang luas. Pertama, identifikasi sektor dan sub sektor apa yang dikembangkannya. Apakah kerajinan tangan, barang-barang kesenian, ataukah di bidang pertanian. Dengan ini ada pemetaan usaha yang jelas sekaligus pemerintah bisa memperoleh data base yang lengkap. Kedua, kemampuan perusahaan tersebut meliputi keseuaian antara modal awal dan produksi, antara keuntungan jangka pendek dan beban biaya operasional dan sebagainya. Ketiga, pola informasi atau lebih dikenal kemampuan berkomunikasi. Setiap perusahaan harus mampu membangun komunikasi intens dan terarah dengan perusahaan di sektor yang sama dan membangun jaringan pasar. Apabila ketiga hal ini dibenahi pemerintah maka seuah UKM memiliki bank-capable. Mereka tak perlu lagi mendatangi rentenir.

Berarti selama ini pemerintah tak punya konsep jelas dan terarah dalam pendampingan usaha di sektor riil?

Eh, begini. Pemerintah dalam hal ini Dinas Perkoperasian dan instansi lainnya memang sudah mempunyai konsep pendampingan. Hanya saja, saya lihat selama ini program pendampingan seperti pelatihan dan kursus itu tidak efektif. Kenapa saya katakan begitu. Ya, karena materi pelatihan itu diberikan sama untuk semua perusahaan padahal dari segi orientasi dan kebutuhan setiap perusahaan itu heterogen. Akibatnya, perusahaan sering mengirim wakil-wakilnya yang tak berbobot bahkan buruhnya sendiri di suruh sekedar menghadiri acara pelatihan tersebut. Karena mereka merasa tak ada manfaatnya. Ini khan sama dengan tidak efektif dan buang-buang waktu, biaya dan tenaga.

Bagaimana kebijakan yang strategis dan tepat sasar dalam memberdayakan UKM di masa mendatang?

Pertama, para pelaku usaha harus memiliki semangat juang yang tinggi. Kedua, membuka komunikasi efektif. Artinya, sektor riil yang bergerak di bidang yang sama perlu bekerja sama baik dalam upaya meningkatkan mutu juga dalam hal pendistribusian produk yang dihasilkan. Kalau tak ada kerja sama maka akan timbul persaingan yang tak sehat, harga produk jatuh di pasaran dan tentunya yang rugi ya para pelaku bisnis itu sendiri. Kalau mereka bersatu akan ada kekuatan pasar dan bisa menentukan patokan harga pokok. Ketiga, aspek politik. Politik dalam arti organisasi. Setiap pelaku UKM membuka komunikasi dengan masyarakat selaku konsumen dan langganan. Di sini ada nilai kompetisi. Masing-masing UKM akan saling menimba pengalaman baik dalam hal strategi pemasaran, jaringan, modal dan kualitas produk itu sendiri. Apabila ketiga aspek ini berjalan, saya yakin akan tercipta iklim yang bersinergis.

Khusus perkembangan UKM di Bali?

Saya melihat krisis ekonomi tak menjadi penghalang utama perkembangan UKM di Bali saat ini. Sektor riil di Bali memang berkaitan erat dengan dunia kepariwisataan. Namun ada dua kelompok usaha. Kelompok pertama, berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Mereka menjual produk ke turis mancanegara yang datang ke Pulau Dewata ini. Mereka ini yang terpuruk ketika gelombang masuk wisatawan naik turun. Kelompok kedua, pelaku usaha yang berorientasi pasar luar negeri. Pemasaran produk mereka tidak tergantung pada naik turunnya wisatawan karena pasarnya sudah jelas. Pemerintah tinggal membantu mereka dalam membuka jaringan pemasaran. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti membuka website di internet. Kedua kelompok ini tetap perlu dibantu pemerintah dengan melihat identifikasi usaha dan karakteristik perusahaannya. Dengan begitu pemerintah bisa tahu sakitnya apa, di mana dan obatnya apa.

Apakah Inkindo mempunyai konsep pembenahan manajemen UKM yang perlu diketahui publik?

Inkindo adalah sebuah lembaga konsultan yang bekerja berdasarkan permintaan para pengguna jasa. Saat ini hampir semua konsultan sudah bergabung dalam Inkindo kecuali konsultan hukum. Kalau pemerintah meminta bantuan Inkindo dalam pemberdayaan UKM, kami siap memberikan masukan mulai dari studi kelayakan sampai dengan pembangunan jaringan pemasaran. Memang saat ini di tingkat pusat, Inkindo melakukan langkah pendampingan UKM secara holistik bekerja sama dengan Satgas BI dan Komite Penanggulangan Kemiskinan. Tahap pertama yang sudah dijalankan adalah TOT (Training of Trainer) buat seorang tenaga konsultan dan tahap kedua di tingkat daerah, TOC (Training of Consultan) bagaimana menjadi KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank). Langkah yang dilakukan adalah memberdayakan UKM dari non bank-capable menjadi bank-capable. Bila ini fokus KKMB bisa menjadi Kerja Keras Membangun Bangsa sebaliknya kalau tidak fokus bisa diplesetkan menjadi Kliang-Klieng Makin Bingung. (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)

Biografi :
Nama: Ir I Gusti Ngurah Adyana
Lahir : Badung, 23 November 1960
Pendidikan: S1 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana (1987)
Jabatan: Wakil Ketua Inkindo Periode 1997-2002
Sekretaris Umum Lembaga Penganyom Jasa Konstruksi Periode 2003-hingga sekarang
Ketua Inkindo Bali Periode 2002-2006
Alamat : Kompleks Kopertis, Peguyangan Kangin, Ceko Maria, Jl Gutisua No 38, Denpasar
Isteri: Ir AA Isteri Agung
Anak : IGA Angga Wirama
IGA Putra Nandika
IGA Sri Andini






Read More